Sabtu, 18 Februari 2012

RI Lokomotif Ekonomi Global?

RI Lokomotif Ekonomi Global?


Saat ini, bangsa Indonesia katanya telah kehilangan roh kebangkitan nasional yang dicetuskan seabad lalu. Pancasila ditinggalkan, para elitenya saling berebut jabatan, sementara korupsi politik merajalela laksana virus. Parahnya lagi, alih-alih hukum dan keadilan, politik dan kepentingan elite yang justru jadi panglima. Sejumlah pakar ilmu sosial-politik bahkan mensinyalir bahwa indikator awal Indonesia menuju negara gagal (failed state) sudah kian jelas.

Wajar saja, saya terhenyak membaca studi Bank Dunia yang disiarkan hampir berbarengan dengan hari kebangkitan nasional 20 Mei lalu. RI diprediksi oleh lembaga berpengaruh tersebut akan menjadi salah satu lokomotif ekonomi global di tahun 2025, bersama Brazil, Russia, India, China (BRIC) dan Korsel. Bisakah RI mewujudkan prediksi Bank Dunia tersebut menjadi kenyataan?

Telaah demografi RI tampaknya menjadi salah satu pisau analisa penting yang dipakai sehingga Bank Dunia bisa sampai pada kesimpulan di atas. Selain analisa tren indikator ekonomi, prospek ekonomi suatu negara memang paling mudah diproyeksi dengan memproksi tren demografinya.

Prediksi jumlah penduduk cenderung tak menyimpang jauh dari perkiraan karena tingkat fertilitas (jumlah rata-rata anak yang dilahirkan seorang wanita) tak banyak berubah dalam jangka panjang. Angka fertilitas Indonesia saat ini 2,6. Minus gerakan nasional untuk membatasi pertumbuhan penduduk, angka tersebut diperkirakan masih akan berada di atas 2,0 hingga dua dasawarsa mendatang.

Dalam 20-30 tahun mendatang, RI akan menikmati apa yang disebut sebagai era bonus demografi (demographic dividend). Dalam periode tersebut, jumlah penduduk usia muda trennya meningkat, sementara dependency ratio (rasio antara kelompok penduduk di luar usia kerja dan usia kerja) cenderung turun. Turunnya dependency ratio secara teoritis juga akan mendorong tumbuhnya kelas menengah di Indonesia.

Menurut hitungan Badan Pusat Statistik (BPS), kelompok penduduk produktif yang berusia 15-65 tahun akan meningkat 17,1% dalam tempo 15 tahun ke depan. Jumlahnya akan naik dari 160,3 juta tahun 2010 menjadi 187,7 juta pada tahun 2025. Rasio kelompok usia produktif juga diprediksi terus meningkat, naik dari 67,4% tahun 2010 (jumlah penduduk 237,6 juta) menjadi 69,7% tahun 2025 (perkiraan penduduk sebesar 273,2 juta).

Jumlah kelompok usia produktif yang naik seiring dengan membesarnya kelas menengah akan mendorong gairah sektor konsumsi dan manufaktur. Kenaikan jumlah penduduk muda biasanya akan diiringi oleh permintaan yang kuat di sektor perumahan dan konstruksi. Sementara itu, sektor-sektor yang terkait dengan teknologi, hiburan, kesehatan, pendidikan dan finansial juga akan tumbuh kencang.

Industri perbankan dan pasar modal akan bergairah karena kelompok usia muda umumnya cenderung untuk memupuk modal. Toleransi risiko kelompok usia ini cukup tinggi sehingga pasar modal dan pasar finansial akan berpeluang tumbuh signifikan.

Sejauh ini, peran perbankan RI dalam perekonomian relatif tertinggal dibanding negara-negara tetangga. Aset perbankan tercatat hanya sebesar 46,8% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2010. Angka ini jauh lebih rendah dibanding negara-negara tetangga, seperti Malaysia (202%), Thailand (120%), dan Filipina (72%).

Rendahnya aset perbankan salah satunya dipicu oleh realitas ekonomi RI yang tergolong masih low leverage (utang perbankan relatif kecil dibandingkan besaran ekonomi). Rasio kredit perbankan RI terhadap PDB tercatat hanya 27,5% tahun 2010, jauh lebih rendah dari Malaysia (114%), Thailand (85%), Singapura (75%), dan Filipina (33%). Namun dalam 2-3 dekade mendatang, tren monetisasi diperkirakan akan terus meningkat seiring naiknya rasio penduduk produktif . Hingga tahun 2015, rasio outstanding kredit terhadap PDB diperkirakan akan terus meningkat kearah 40%.

Memanfaatkan kebijakan China

Pada tahun 2010, besaran kue ekonomi RI diukur dengan PDB nominal tercatat sekitar Rp 6400 triliun (US$ 710 milyar) atau US$ 3000/kapita. Dengan asumsi konservatif pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8% hingga 2015, besaran ekonomi RI minimal akan meningkat dua kali lipat setiap lima tahun. Alhasil pada tahun 2015, ekonomi Indonesia akan menggelembung menjadi sekitar Rp 15.500 triliun atau US$ 1,7 triliun dollar dengan pendapatan per kapita sekitar US$ 6000.

Kunci utama untuk mencapai target di atas adalah investasi yang berkesinambungan, salah satunya dengan memanfaatkan tren investasi China yang cenderung meningkat. Dengan cadangan devisa yang hingga Mei 2011 sudah mencapai lebih dari US$ 3 triliun, China punya insentif untuk memperbesar investasinya ke negara-negara emerging market, terutama Indonesia yang kaya sumber daya alam dengan kelas menengah yang terus berkembang. Tren ini sudah terlihat dari masuknya investor China ke beberapa sektor di Indonesia seperti perbankan, semen, baja, keramik, migas, mineral, infrastruktur, dll.

Dari segi upah buruh, investasi di Indonesia sekarang lebih menarik dibandingkan di China. Upah minimum di China naik 20% tahun 2010 dan 22% pada tahun 2011. Saat ini, upah per kapita di sektor manufaktur China mencapai US$4900/tahun atau hampir 4 kali lipat dari Indonesia.

Selain itu, RI perlu juga mencermati arah kebijakan ekonomi China dalam dasawarsa mendatang. Dalam rencana ekonomi yang diumumkan baru-baru ini, pemerintah China akan memprioritaskan pertumbuhan konsumsi domestik dibanding investasi dan ekspor yang sudah menjadi tumpuan ekonomi China selama 30 tahun terakhir. Pemerintah China memproyeksikan porsi konsumsi domestik terhadap PDB akan meningkat dari 36% di tahun 2010 menjadi 45% di tahun 2015.

Dalam rencana pembangunan yang baru tersebut, China juga akan mengadopsi model pembangunan sektor jasa yang padat karya (labor intensive). Alasan China mendorong pertumbuhan sektor jasa adalah karakteristik sektor tersebut yang membutuhkan lebih sedikit sumber daya dibandingkan sektor manufaktur. Ini sejalan dengan model pembangunan China yang akan lebih eco-friendly. Model ini juga dipilih dalam rangka memperbaiki upah rata-rata pekerja China sehingga daya beli dan impor pun akan meningkat. Dengan demikian, ketidakseimbangan global pun dapat perlahan dikurangi – http://davidsumual.blog.kontan.co.id/2010/11/28/perang-mata-uang-what-next.

Perubahan segera

Gerbang kesempatan terbuka luas bagi RI dalam 2-3 dekade mendatang. Selepas periode tersebut, penduduk Indonesia akan mulai mengalami penuaan (aging society), dimana bonus demografi berubah menjadi beban demografi. Jumlah pekerja dan penduduk produktif akan berkurang secara absolut, seperti dialami Jepang mulai 2005 lalu dan China mulai tahun 2015 mendatang.

Indonesia harus bisa mencontoh AS, Jepang, dan China yang berhasil membangun bantalan kesejahteraan (wealth cushion) sebelum penduduknya mulai menua. Untuk itu, RI perlu mempersiapkan diri dengan rencana jangka panjang yang solid dan menyeluruh. RI memerlukan kebijakan industri, perdagangan, tenaga kerja dan infrastruktur yang kondusif agar inefisiesi dan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) dapat dikikis dan ekonomi pun dapat lebih berdaya saing.

Selain prioritas pembenahan institusi dan penegakan hukum, perbaikan SDM dan pembangunan infrastruktur, kebijakan subsidi yang tak tepat sasaran juga harus segera dibenahi. Sinyalemen akhir-akhir ini menunjukkan pemerintah kemungkinan akan lebih mengedepankan pertimbangan politik dibandingkan pertimbangan ekonomi jangka panjang dalam memutuskan kebijakan terkait subsidi BBM.

Pemerintah baru-baru ini menyatakan akan terus mensubsidi BBM karena penguatan rupiah akhir-akhir ini turut membantu mengurangi biaya impor BBM. Selain itu, pemerintah kemungkinan akan menambah nominal subsidi BBM dengan cara memperbesar defisit APBN ke kisaran 2% terhadap PDB (notabene menambah utang baru) dibanding mengotak-atik kebijakan subsidi BBM.

Sinyal pemerintah terkait kebijakan subsidi BBM tersebut benar-benar membuat saya khawatir. Kalau kebijakan populis ini berlanjut hingga 2014, tren misalokasi sumber daya ekonomi tentu akan terus berlangsung. Tingkat harga yang terbentuk di pasar tidak lagi mencerminkan kondisi perekonomian yang sebenarnya (pseudo price), karena tingkat harga tersebut telah terdistorsi oleh kebijakan subsidi BBM -http://desumualseconotes.blogspot.com/2005/08/unrealistic-2006-budget-damage-has-been.html.

Sementara ini, penguatan rupiah memang membantu mengurangi biaya impor BBM. Namun, tren ke depan sebenarnya sudah tidak lagi memungkinkan negara ini untuk terus mempertahankan kebijakan yang salah sasaran tersebut. Indonesia sudah net importer minyak sejak beberapa tahun lalu dan bukan lagi anggota OPEC. Produksi minyak RI terus turun, sementara minyak sebagai energi tak terbarukan (non-renewable energy) tren harganya cenderung akan terus naik sesuai dengan tingkat kelangkaannya.

Sinyal harga yang salah juga menyebabkan kebijakan transportasi yang juga salah arah sehingga konsumsi BBM dalam negeri terus meningkat. Ketika perbedaan harga internasional dan harga BBM bersubsidi kian lebar, permintaan BBM juga makin meningkat akibat aksi penyelundupan baik ke luar negeri maupun ke industri -http://www.ecoteacher.asn.au/Jakpost/030400/oil.htm.

Tingkat risiko riil RI sebenarnya justru meningkat jika lembaga pemeringkat internasional menaikkan peringkat RI menjadi investment grade sebelum pemerintah mengubah kebijakan BBM bersubsidi. Masuknya RI ke dalam kategori investment grade akan mendorong lembaga-lembaga keuangan dunia untuk memberikan credit line yang lebih besar bagi Indonesia (bank akan tertarik menyalurkan dananya ke RI karena bobot risiko lebih rendah sehingga alokasi modal yang harus disediakan bank lebih sedikit).

Masuknya dana dalam jumlah besar seiring naiknya peringkat Indonesia menjadi investment grade akan menyebabkan distorsi ekonomi kian menjadi-jadi. Dalam jangka pendek tentu akan menguntungkan Indonesia dimana harga aset cenderung meningkat. Namun dalam jangka menengah-panjang, ekonomi pun menjadi lebih rentan terhadap kemungkinan krisis baik yang dipicu oleh persoalan eksternal maupun domestik, sementara ongkos krisis yang timbul cenderung akan lebih besar.

Sebab itu, RI harus segera berbenah diri dalam menyongsong era keemasan 2020-2030. Selain kebijakan BBM yang tepat sasaran, persoalan-persoalan yang menimbulkan high cost economy seperti persoalan logistik, birokrasi dan infrastruktur harus segera dibenahi. Tanpa perubahan, ekonomi RI hanya akan tumbuh subsisten sebesar 5% hingga 2025, ditopang hanya oleh pertumbuhan konsumsi. Dengan pertumbuhan subsisten tersebut bantalan kesejahteraan tentu tak akan terbentuk sehingga RI rentan didera krisis (terutama krisis sosial-ekonomi), ketika masyarakatnya nanti mulai menua (aging crisis).

Tapi dengan perbaikan di berbagai sektor, RI punya peluang besar untuk tumbuh di kisaran pertumbuhan potensialnya rata-rata sebesar 8% hingga tahun 2025. Dengan demikian, kita berharap antara periode 2020-2030 bangsa ini akan mengalami kebangkitan nasional kedua dan menjadi salah satu negara maju yang diperhitungkan di tingkat global.

Sumber : http://davidsumual.blog.kontan.co.id/2011/05/

1 komentar:

  1. Nice share mas. sekalian tanya, lokomotif perekonomian Indonesia saat ini apa ya? kalau di jaman soeharto kan jelas agrikultur.

    BalasHapus