Sabtu, 18 Februari 2012

Kebangkitan Nasional dan Visi 2030

Kebangkitan Nasional dan Visi 2030

Oleh I Basis Susilo


Dua bulan sebelum Hari Kebangkitan Nasional tahun ini, Yayasan Forum Indonesia meluncurkan buku Kerangka Dasar Visi Indonesia 2030. Menurut buku ini, Indonesia 2030 berpenduduk 285 juta jiwa, produk domestik bruto (PDB) USD 5,1 triliun, jadi negara industri maju, masuk lima besar kekuatan ekonomi dunia, memiliki 30 perusahaan dunia yang tercatat dalam 500 perusahaan terbesar dunia, dan bependapatan USD 18 ribu per orang per tahun.

Visi itu didasarkan pada asumsi pertumbuhan ekonomi riil 7,62 persen, inflasi 4,95 persen, dan pertumbuhan penduduk 1,2 persen per tahun. Visi tersebut mensyaratkan: ekonomi berbasis keseimbangan pasar terbuka dengan dukungan birokrasi yang efektif.

Selain itu, ada pembangunan berbasis sumber daya alam, manusia, modal, serta teknologi yang berkualitas dan berkelanjutan; dan perekonomian yang terintegrasi dengan kawasan sekitar dan global.

Setiap bangsa memerlukan visi ke depan yang kuat sebagai dasar dan petunjuk arah bergerak maju. Tanpa dasar dan arah yang jelas, bangsa mudah terombang-ambing oleh dinamika perubahan.

Kemajuan Tiongkok saat ini, misalnya, didasari visi yang jelas untuk 2020, 2050, dan 2080, yang dibuat awal 1980-an, saat negeri itu masih miskin dan dianggap terbelakang. Kemajuan Singapura pun didasari visi yang dibuat 1959 oleh Lee Kuan Yew yang mematok negeri pulau itu menyamai negara-negara Eropa Barat pada 1980. Tahun 1959, Singapura masih amat terbelakang sehingga visi itu dianggap mimpi.

Konsolidasi dan Koreksi Diri

Untuk menggapai visi itu, diperlukan konsolidasi dan koreksi diri yang memadai. Dengan konsolidasi diri, suatu bangsa memperkukuh komitmen bersama, memperkukuh fundamen bersama, dan memperkuat kapasitas. Dengan koreksi diri, kesalahan, penyelewengan, kerusakan bisa dideteksi secara dini untuk segera diperbaiki. Kita lihat contoh India, Jepang, dan Tiongkok.

Secara budaya, bahkan peradaban, India sudah mempunyai dasar yang amat kukuh karena terbentuk berabad-abad. Tetapi sebagai bangsa modern, sampai pengujung abad ke-20, India masih enggan membuka diri. Para pemimpinnya melihat kemajuan fisik Barat, tetapi tidak terpukau dan meniru begitu saja karena khawatir kehilangan jati diri.

Namun, pelan tetapi pasti, bangsa itu memperkuat kapasitas industri dan membangun komitmen dengan demokrasi supaya lebih siap saat menghadapi globalisasi. Mekanisme koreksi diri bekerja secara memadai karena bangsa itu sejak merdeka sepakat menjalankan sistem demokrasi.

Jepang melakukan konsolidasi diri selama 250 tahun sebelum Restorasi Meiji pada awal 1860-an. Selama 250 tahun itu ia menata diri melalui konflik, persaingan, bahkan perang, komunikasi, membangun kejepangan, untuk mencapai keseimbangan yang mantap sebagai bangsa.

Dengan itu, ia bisa bersepakat tentang hal-hal mendasar dan arah tujuan bersama yang dituju bangsanya. Pengalaman kalah pada Perang Dunia II tak mampu menghancurkan bangunan dasar dirinya.

Walau Tiongkok punya peradaban besar, dalam era modern ia mengalami proses konsolidasi dahsyat. Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, Tiongkok dijadikan bulan-bulanan bangsa-bangsa Barat dan Jepang. Perasaan terhina dan dihina sedemikian itu memberikan pelajaran berharga baginya untuk membangun jati diri yang kuat.

Setelah Perang Dunia II, Tiongkok mulai melakukan konsolidasi dan koreksi diri secara keras oleh Mao Tse-tung dengan Revolusi Kebudayaannya. Revolusi itu menyebabkan kemerosotan ekonomi, tapi keuntungan soft goods berupa kepercayan diri dan hati-hati terhadap kekuatan asing tidak bisa dipungkiri, bahkan oleh Deng Xiao-ping sekalipun.

Selanjutnya, Deng melakukan koreksi diri Tiongkok dengan empat modernisasinya pada akhir 1970-an. Salah satu koreksi total adalah sistem pendidikan.

Bagaimana Kita?
Sudah cukupkah konsolidasi diri dan koreksi diri bangsa kita? Dibandingkan dengan Jepang, India, dan Tiongkok, bangsa kita memang tidak punya kesempatan cukup untuk konsolidasi dan koreksi diri.

Tetapi jika dibandingkan dengan Malaysia, bangsa kita punya sejarah dan pengalaman berkonsolidasi dan koreksi diri yang lebih memadai. Namun, nyatanya kita merasakan kini kemajuan Malaysia tampaknya bisa lebih solid dibandingkan dengan kita.

Sejak 1908, melalui perjuangan ide, fisik, diskusi, dan konflik internal, bangsa kita sudah mempunyai fondasi yang cukup memadai.

Tonggak-tonggak sejarah menunjukkan kesepakatan nasional. Ada lima tujuan bernegara: merdeka, berdaulat, bersatu, adil, dan makmur. Ada Sumpah Pemuda. Ada Pancasila. Ada UUD 1945. Ada NKRI. Ada Bendera Merah Putih. Ada Bahasa Indonesia. Ada Tritura. Ada Reformasi. Ada Rupiah. Dan sebagainya.

Tetapi, kesepakatan-kesepakatan itu oleh beberapa pihak masih dianggap lonjong, tidak bulat, sehingga masih ada upaya-upaya untuk mengingkari kesepakatan-kesepakatan nasional tersebut.

Misalnya, soal dasar negara kita, masih saja ada yang mempersoalkan dan mencoba mengubahnya. Akibatnya, terus-menerus kita menguras energi bangsa kita untuk hal-hal yang sudah seharusnya tidak kita persoalkan lagi.

Mekanisme koreksi diri pun sudah dilakukan dengan berbagai cara. Tetapi akhir-akhir ini kita terjebak untuk lebih asyik ber-guyon ria secara cengengesan untuk membahas soal-soal penting bagi bangsa kita. Kesalahan dan penyelewengan cenderung kita jadikan sasaran bulan-bulanan humor semata ketimbang sebagai soal serius yang harus diatasi bersama.

Padahal, untuk bisa mewujudkan Visi Indonesia 2030, diperlukan konsolidasi dan koreksi diri yang memadai sehingga guncangan-guncangan yang disebabkan aksi kita untuk mewujudkan visi itu tidak akan merusak atau menghancurkan fondasi hidup kita dalam berbangsa dan bertanah air.

Kita masih butuh proses konsolidasi dan koreksi diri. Misalnya, semua elite strategis bangsa kita menyepakati waktu khusus, misalnya satu jam dalam sehari, untuk membahas soal-soal kebangsaan kita di mana pun, terutama di dan melalui media massa.

Artinya, semua media massa mesti memprogramkan acara-acara berperspektif nasional. Ide ini mungkin tampak aneh di tengah liberalisasi saat ini, tetapi untuk membangun landasan yang kukuh kebangsaan kita, sesuatu harus dilakukan sebelum terlalu terlambat.

I Basis Susilo, dosen pada jurusan Hubungan Internasional FISIP Unair, saat ini juga dekan FISIP Unair

Sumber : http://www.opensubscriber.com/message/dpr-indonesia@yahoogroups.com/6742988.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar