Sabtu, 18 Februari 2012

Membangun Karakter dan Kemandirian Bangsa

Membangun Karakter dan Kemandirian Bangsa Buat halaman ini dalam format PDF Cetak halaman ini
Selasa, 19 Juni 2007

M. Hatta Rajasa
Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia

Pendahuluan
Pembangunan bangsa dan pembangunan karakter bangsa adalah dua istilah yang sering saling dipertautkan antara satu dengan lainnya. Hal ini sangat wajar karena artikulasi sebuah bangsa memang berbeda dengan sebuah benda fisik biasa, misalnya bangunan atau jembatan. Jika sebuah bangunan atau jembatan runtuh, maka keruntuhannya dapat tampak secara fisik, antara lain dengan berserakannya bagian bagian jembatan atau bangunan tersebut.

Namun hal tersebut berbeda dengan bangsa. Sebuah bangsa adalah kumpulan dari tata nilai (values). Sendi sendi yang menopang sebuah bangsa umumnya adalah berupa karakter dan mentalitas rakyatnya yang menjadi pondasi yang kukuh dari tata nilai bangsa tersebut. Keruntuhan sebuah bangsa umumnya ditandai dengan semakin lunturnya nilai nilai bangsa tersebut, walaupun secara fisik bangsa tersebut sebenarnya masih eksis.Â

Meskipun sudah bukan barang baru, namun harus diakui bahwa fenomena globalisasi adalah dinamika yang paling strategis dan membawa pengaruh dalam tata nilai dari berbagai bangsa termasuk bangsa Indonesia. Sebagian kalangan menganggapnya sebagai ancaman yang berpotensi untuk menggulung tata nilai dan tradisi bangsa kita dan menggantinya dengan tata nilai pragmatisme dan populerisme asing.

Di pihak lain, globalisasi adalah juga sebuah fenomena alami, sebuah fragmen dari perkembangan proses peradaban yang harus kita lalui bersama. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada makalah ini globalisasi akan dijadikan sebagai acuan untuk mengulas pembangunan karakter bangsa menuju pada kemandirian bangsa.

Dan sehubungan bahwa generasi muda adalah komponen bangsa yang paling rentan dalam proses amalgamasi tata nilai dan budaya, maka menjelang 100 tahun peringatan Hari Kebangkitan Nasional, secara khusus akan diberikan ulasan tentang peran kritis generasi muda dalam pembangunan dan pemberdayaan karakter kebangsaan yang positif, yang menunjang pada kemandirian bangsa di tengah terpaan arus globalisasi.

Pembangunan Bangsa yang Berkarakter
Pada prinsipnya memang membangun sebuah bangsa tidaklah cukup hanya dalam esensi fisik belaka. Perlu adanya suatu orientasi yang sedemikian sehingga esensi fisik tersebut berlanjut dalam suatu internalisasi untuk menuju pada pembangunan tata nilai atau sebaliknya pembangunan yang berorientasi pada tatanan fisik tersebut dijiwai oleh semangat peningkatan tata nilai sosio kemasyarakatan dan budaya, meskipun yang kedua ini umumnya lebih sulit dibandingkan dengan yang pertama.

Setidaknya ada 2 (dua) argumen penting menyangkut pembangunan yang bertata nilai yakni:

  • 1. Pembangunan yang bertata nilai merupakan esensi dari suatu pemahaman pembangunan yang sepenuhnya berorientasi pada manusia sebagai subyek pembangunan atau lazim dikenal dengan human oriented development. Tanpa adanya orientasi hal yang demikian, maka pembangunan hanya akan mencakup tataran fisik dan tanpa disertai adanya pembangunan budaya serta peningkatan standar nilai kehidupan manusianya.
  • 2. Pembangunan yang bertata nilai juga berarti jalur untuk dapat tercapainya suatu tata pemerintahan yang baik, atau good governance. Karena hanya melalui orientasi pembangunan yang semacam ini sajalah, maka dapat diharapkan akan terjadi interaksi positif antara pemerintah dan masyarakatnya untuk secara arif mengelola sumber daya alam maupun juga tentunya penataan sumber daya manusianya yang sedemikian sehingga tidak bernuansa eksploitasi, apalagi mengarah pada sejumlah bentuk eksploitasi yang tidak bertanggung jawab. Dengan cara ini, maka tidak saja pembangunan yang bertata nilai akan semakin meningkatkan kondusifitas interaksi antara pemerintah dan masyarakatnya akan tetapi juga semakin mempercepat proses pembentukan suatu masyarakat madani yang lebih demokratis.

Untuk lebih dapat memahami dalam konteks yang lebih praktikal, maka dalam makalah ini akan diulas tentang sejumlah hal terkait dengan arti dan makna pembinaan karakter bangsa, potensi potensi bangsa yang harus dikembangkan untuk mencapai kemandirian bangsa yang bertata nilai, dan tentunya juga peran kritis dari generasi muda didalamnya.

Arti dan Makna Pembinaan Karakter Bangsa
Mantan Perdana Menteri Malaysia, Datuk Sri Dr. Mahathir Muhammad pernah mengeluarkan sebuah pernyataan retorik tentang pembinaan karakter suatu bangsa yakni,

“Ketika suatu bangsa mulai membangun, maka yang pertama kali menjadi korban adalah kelembagaan keluarga berikut seluruh tatanan nilai kekeluargaan yang ada di dalamnya�?.

Pernyataan retorik di atas tentunya mengandung arti yang luas walaupun barangkali tidak terlalu paradoksal. Sebagian dari kita tentu memahami bahwa di negara-negara industri maju, memang umumnya fenomena hilangnya kohesivitas keluarga, sangat tampak dan sangat kentara, sejalan dengan semakin meningkatnya idiom “modernisasi�? di negara-negara tersebut.

Sehingga pembangunan dan pembinaan karakter suatu bangsa menjadi suatu istilah yang semakin sering diungkapkan sekaligus di perlukan pemahamannya yang lebih baik, khususnya dalam menjadikan pembangunan fisik suatu bangsa sebagai salah satu instrumen dalam pembinaan karakter manusianya.

Aspek lain yang tidak kalah pentingnya adalah pengaruh dari kemajuan kapasitas berpikir manusia, yang umumnya diartikulasikan dalam bentuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Terutama dalam hal ini adalah teknologi informasi dan telekomunikasi. Kedua jenis teknologi ini secara sangat radikal telah mengakselerasi proses interaksi antar manusia dari berbagai bangsa dan memberikan dampak adanya amalgamasi berbagai kepentingan lintas bangsa atau lazim dikenal dengan globalisasi. Salah satu unsur yang sejatinya sudah ada dalam proses amalgamasi kepentingan antar manusia dari jaman dahulu kala adalah daya saing atau competitiveness.

Menurut Michael Porter (1999), dalam bukunya Daya Saing sebuah Bangsa (The Competitiveness of A Nation), pemahaman daya saing sebagai salah satu keunggulan yang dimiliki suatu entitas dibandingkan dengan entitas lainnya, bukanlah baru muncul di era abad ke-21 sekarang ini.

Gambar 1. Model rantai nilai Daya Saing
(dimodifikasi dari Porter, 1999)

hatta_gb1.jpgÂ


Peran daya saing dalam menjadikan suatu entitas lebih unggul dibandingkan lainnya sebenarnya bukan hal baru, akan tetapi sudah menjadi suatu keniscayaan bahkan semanjak masa lampau. Daya saing di sini tentunya harus dipahami dalam arti yang sangat luas. Peran teknologi informasi dan telekomunikasi, menurut Porter, hanya sebatas mempercepat sekaligus memperbesar peran daya saing dalam menentukan keunggulan suatu entitas dibandingkan dengan entitas lainnya.

Keunggulan yang dimaksud di atas, nantinya dapat berkembang ke berbagai pengertian maupun penerapan, bisa berarti keunggulan ekonomi, keunggulan politik, keunggulan militer dan lain-lain. Daya saing pada esensinya dapat dipandang sebagai sebuah rantai nilai proses yang dapat dikendalikan dengan proses pembelajaran kontinyu atau continuous learning (diberikan pada gambar 1). Dalam alur proses rantai nilai tersebut terdapat dua hal yang sangat prinsipil yaitu (gambar 1):

  • 1. Pertama: peran daya saing dalam menentukan keunggulan hanya dapat dijamin, jika dan hanya jika, daya saing tersebut bersifat adaptif. Yakni daya saing tersebut harus dikembangkan dan disesuaikan seiring dengan adanya perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingnya.

    Untuk dapat mencapai hal ini, maka setiap individu dalam entitas yang bersangkutan, entitas di sini dapat berupa sebuah organisasi, perusahaan ataupun bahkan sebuah negara, perlu melakukan proses pembelajaran yang terus menerus (atau sering disebut dengan continuous learning) dan selanjutnya juga melakukan proses internalisasi dari kapasitas pengetahuan yang didapat melalui pembelajaran tersebut. Hal yang terakhir ini menuntut adanya suatu perubahan sikap atau mental model dari setiap individu setelah melalui suatu proses pembelajaran tertentu.
  • 2. Kedua adalah bahwasanya daya saing perlu diarahkan pengembangan untuk adanya suatu pembinaan total dari kohesivitas antar komponen bangsa yang menuju pada keseimbangan harmonis antara suatu entitas dengan entitas lainnya.

    Hal yang kedua ini menuntut adanya suatu pembinaan karakter yang sedemikian, sehingga pengembangan daya saing tidak lantas diarahkan pada pola pikir yang bersifat predatorik, yakni saling mematikan dan membinasakan komponen bangsa lainnya, akan tetapi harus pada konteks adanya komplementasi sehingga peningkatan daya saing nantinya akan justru mengarah pada pencapaian kemajuan bangsa secara kolektif. Atau dengan kata lain pembinaan karakter bangsa harus mencetak suatu mentalitas daya saing bangsa yang bersifat komplementer dan non predatorik.

Berdasarkan dari dua hal yang sangat prinsipil di atas, maka arti dan makna pembinaan karakter bangsa di era yang sarat dengan daya saing sekarang ini adalah menyangkut tiga hal pokok yaitu:

  • 1. Artikulasi karakter bangsa adalah mengacu pada tingkat peningkatan kapasitas pengetahuan dari bangsa tersebut untuk terus melakukan pembelajaran agar semakin meningkat daya saingnya.
  • 2. Adapun pembinaan karakter bangsa akan diarahkan agar supaya kapasitas pengetahuan yang terbangun akan meningkatkan daya saing, dengan kondisi dimana daya saing tersebut akan memungkinkan adanya kemajuan kolektif atau kemajuan bersama, bukan kemajuan yang bersifat predatorik atau saling mematikan antara satu dengan lainnya.
  • 3. Sejalan dengan hal tersebut, maka pemaknaan dari karakter positif bangsa harusnya diarahkan untuk mencapai dua hal pokok di atas.

    Karakter positif bangsa yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia, antara lain adalah karakter pejuang. Dalam kaitan ini masyarakat internasional pun mengakui bahwa dua bangsa pejuang yang berhasil merebut kemerdekaannya dengan darah di era pasca Perang Dunia ke-2 hanya dua yakni bangsa Indonesia dan Vietnam. Selanjutnya masih ada lagi karakter pemberani dan sejumlah karakter positif lainnya. Seluruhnya perlu dimaknai dalam konteks peningkatan daya saing dan bersifat komplemen (atau non predatorik).

Dalam pemahaman yang bersifat artikulatif umumnya arti dan makna pembinaan karakter bangsa sudah bukan merupakan masalah lagi. Namun pada kenyataannya kita masih didera oleh sejumlah permasalahan dalam pembinaan karakter bahkan yang paling kritis justru yang menyangkut masalah daya saing, sebuah parameter yang semakin meningkat nilai pentingnya di era global sekarang ini.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada paragraf berikut akan diulas secara singkat tentang permasalahan umum yang dihadapi dalam pembinaan karakter bangsa.

Permasalahan Umum dalam Pembinaan Karakter Bangsa
Sebagaimana telah disinggung pada paragraf 2 di atas, bahwasanya pencapaian daya saing yang adaptif menuntut adanya pembelajaran yang terus menerus dan pembentukan mental model sebagai kelanjutan dari internalisasi pembelajaran yang dilakukan. Adapun esensi yang paling utama untuk dapat mewujudkan hal tersebut dalam konteks yang praktis adalah adanya perubahan (changes) baik bagi individu maupun kelompok/kumpulan masyarakat atau seluruh bangsa ini pada umumnya.

Perubahan atau changes inilah yang merupakan kunci dari adaptifitas daya saing. Pada gambar 2 diberikan suatu formasi ideal dari proses pembinaan karakter suatu bangsa.

Gambar 2. Tatanan Ideal dalam Proses
Pembinaan Karakter

hatta_gb2.jpg


Â

Gambar 3. Kondisi faktual yang terjadi, baik di Indonesia, maupun di beberapa negara lain. Elemen Perubahan umumnya masih belum menjadi bagian integral dari proses pembinaan karakter.

hatta_gb3.jpg


Â

Umumnya tanpa adanya fitur adaptifitas ini, maka daya saing akan bersifat kaku dan statis, dan daya saing yang demikian pada akhirnya hanya akan menjadi kebanggaan historika masa lampau serta tidak memiliki esensi sama sekali di era masa depan yang menuntut adanya bentuk daya saing yang baru. Gejala ini pun tampaknya dapat dirasakan di kalangan masyarakat kita, meskipun hal ini juga menggejala di negara-negara lain, yang cenderung mengisolasi artikulasi daya saing dalam pemahaman yang bersifat konstan dari perspektif historis perjalanan bangsa tersebut.

Barangkali satu contoh menarik yang dapat dijadikan pelajaran dalam konteks ini adalah perjalanan hidup bangsa Korea (Selatan). Bangsa ini, kalau berdasarkan perspektif historis, tidak atau belum pernah masuk kategori bangsa yang dominan di wilayah regionalnya. Sejarah mencatat bahwa Korea umumnya selalu di bawah bayang-bayang dua negara tetangganya yang sangat kuat, yakni Kekaisaran Jepang di Selatan dan (dahulu Kekaisaran) Cina di Timur.

Namun melalui suatu proses internalisasi pengetahuan yang berjalan secara konsisten dan terutama dengan adanya semangat untuk melakukan perubahan secara signifikan, Korea (khususnya Selatan) saat ini telah tumbuh menjadi kekuatan yang paling diperhitungkan di kancah regional Asia Timur bahkan dunia. Pakar reformasi Korea Selatan, Linsu Kim (2002) pernah mengatakan bahwa pembelajaran secara kontinyu atau continuous learning tidak akan memberikan pengaruh apa-apa, tanpa disertai adanya kemampuan untuk berubah atau ability to change. Bahkan menurutnya, proses pembelajaran barulah menemukan maknanya setelah terjadinya proses perubahan pasca proses pembelajaran tersebut, khususnya dalam konteks pola pikir, pola sikap dan perilaku.

Rantai nilai pembelajaran yang terdiri dari elemen, peningkatan kapasitas pengetahuan, internalisasi pengetahuan dan selanjutnya kesanggupan untuk melakukan perubahan tampaknya masih belum dapat diimplementasikan secara lengkap di umumnya kalangan masyarakat kita (gambar 3). Gambaran umum yang terjadi adalah kemampuan kita, tampaknya baru sebatas pada dua elemen yang pertama yakni peningkatan kapasitas pengetahuan dan internalisasi pengatahuan. Sedangkan elemen yang ketiga tampaknya masih diaplikasikan dalam dimensi yang sangat terbatas (gambar 3).

Sehingga tidaklah terlalu mengherankan kalau kita mendengar atau mengetahui bahwasanya sudah terlalu banyak contoh dan kasus dimana segenap idea, pemikiran dan konsepsi-konsepsi yang telah dirumuskan dan dirancang dengan baik, bahkan melibatkan banyak orang yang pakar di bidangnya masing masing pada akhirnya hanya menjadi sebatas tata wacana atau kumpulan buku-buku dan referensi tanpa adanya upaya kongkrit untuk menginternalisasikannya dan untuk selanjutnya menjadi landasan dalam proses perubahan sikap maupun perilaku, baik bagi individu maupun masyarakat dan bangsa.

Dari kenyataan ini maka dapat dideduksi bahwa permasalahan umum dalam konteks pembinaan karakter bangsa adalah mencakup upaya-upaya untuk mencapai suatu proses internalisasi pengetahuan yang kemudian dapat berlanjut sampai dengan terjadinya suatu pergantian atau changes tersebut.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka agenda terpenting dalam konteks pembinaan karakter bangsa adalah menyangkut adanya reformasi kolektif dari segenap komponen bangsa ini untuk sanggup melakukan pergantian atau changes setelah menjalani setiap proses pembelajaran.

Karena sifatnya yang kolektif, maka tentunya hal tersebut tidak mungkin menjadi tugas atau kewajiban dari pemerintah saja, akan tetapi juga menyangkut tugas dan kewajiban dari seluruh masyarakat. Meskipun demikian, pemerintah, yang dalam hal ini tentunya lebih banyak dari kompartemen pendidikan dan komunikasi harus sanggup memberikan fasilitasi yang paling ideal dalam mengakselerasi proses pemahaman kolektif, bahwasanya perubahan atau changes dari setiap adanya peningkatan kapasitas pengetahuan yang diperoleh melalui proses pembelajaran apapun juga adalah hal yang sama pentingnya, atau bahkan dalam beberapa hal lebih penting, dibandingkan dengan aktifitas peningkatan kapasitas pengetahuan itu sendiri.

Pada paragraf berikut akan diulas secara tentang potensi bangsa yang seharusnya dapat dijadikan sebagai unsur penting untuk membangun kemandirian bangsa.

Unsur Pokok Pembangun Kemandirian Bangsa

The core of any army is its soldiers, no matter how sophisticated its equipment, its performance is solely dependent on its soldiers.
Douglas MacArthur, General, US Army, 1945

Penggalan kalimat di atas diambil dari ungkapan salah seorang komandan militer yang cukup terkenal, yaitu Jendral MacArthur. Seorang Jendral AS yang pernah menjadi panglima mandala Pasukan Sekutu di Pasifik pada era Perang Dunia ke-2 (1941-1945) dan selanjutnya menjadi panglima mandala Pasukan Gabungan PBB semasa Perang Korea (1951-1955). Penggalan kalimat di atas cukup menarik, karena memberikan esensi pada peran sumber daya manusia sebagai unsur yang paling kritis dalam setiap proses pengembangan suatu entitas tertentu (dalam kasus di atas tentunya entitas militer yakni Angkatan Bersenjata). Namun demikian hal di atas berlaku pada hampir seluruh aspek, mulai dari organisasi yang sangat kecil seperti klub olahraga ringan sampai dengan sebuah negara.

Sebenarnya apa yang diungkapkan oleh Jend. MacArthur di atas bukanlah hal yang baru. Lebih dari seabad sebelumnya (1815), kaisar Perancis yang juga Jendral besar dari Eropa, Napoleon Bonaparte pernah mengatakan, “Une armée marche à son estomac�? atau “Angkatan Bersenjata berjalan dengan perutnya�?. Meskipun oleh banyak pihak penggalan kalimat ini diartikan dalam konteks pentingnya unsur logistik dalam suatu operasi militer, akan tetapi sejatinya penggalan kalimat ini ikut menekankan bahwa faktor prajurit (atau esensinya adalah faktor manusia) merupakan komponen terpenting dalam setiap proses atau rantai nilai apapun juga.

Meskipun sumber daya manusia merupakan suatu hal yang sangat krusial, namun terkadang kalau sudah berbicara mengenai hal ini banyak kalangan masyarakat yang menganggapnya sebagai hal yang terlalu normatif. Beberapa di antaranya malah menganggap bahwa pada jaman pemerintahan sebelumnya pernah ada masa dimana hampir setiap pejabat negara menekankan tentang pentingnya SDM namun pada akhirnya refleksi kemajuan yang dicapai juga tidak sebesar sebagaimana yang diharapkan.

Terlepas dari semua hal tersebut, tetap sumber daya manusia adalah potensi bangsa yang paling strategis yang harus dimobilisir dan dikembangkan. Bahkan Ralph S. Larsen (2004), CEO dari Johnson & Johnson, pernah mengatakan bahwa, tingkat kedewasaan suatu organisasi ditentukan dari persepsinya terhadap sumber daya manusia yang dimilikinya. Tataran tertinggi adalah ketika organisasi yang bersangkutan telah sanggup menganggap bahwa sumber daya manusia adalah aset dan bahkan aset yang paling menentukan dari kelangsungan hidup organisasi tersebut. Sebaliknya, tataran terendah adalah ketika organisasi masih menganggap bahwa sumber daya manusia tidak lebih dari komponen bahan baku yang menjadi obyek untuk dieksploitasi begitu saja.

Permasalahan utama tentunya adalah mendorong agar pengembangan sumber daya manusia ini sanggup menghantarkan suatu bangsa mencapai tingkat kemandirian yang berkesinambungan. Dan sebagaimana telah disinggung pada paragraf sebelumnya, era globalisasi menuntut adanya parameter daya saing sebagai satu satunya hal yang penting untuk menjamin suatu kemandirian, lebih lanjut, pembinaan karakter yang menuju pada mentalitas daya saing sendiri menuntut adanya sejumlah prasyarat pokok yang harus dijadikan acuan dalam setiap proses, atau yang lazim dikenal dengan rantai nilai.

Sejalan dengan hal tersebut, maka unsur pokok pembangun kemandirian bangsa terfokus pada tiga aspek penting yaitu:

  • 1. Peran kritis sumber daya manusia sebagai sumber daya yang terus terbarukan,
  • 2. Peningkatan daya saing dari sumber daya manusia tersebut, sebagai jaminan untuk adanya kemandirian bangsa yang berkesinambungan,
  • 3. Pemahaman bahwasanya mencetak mentalitas daya saing membutuhkan suatu rantai nilai dengan tatanan dan urutan tertentu. Serta keberhasilannyapun tergantung dari sampai sejauh mana tingkat pemenuhan kriteria dan persyaratan tersebut.

Ketiga aspek penting di atas perlu mendapatkan suatu pelaksana atau agents yang akan mengimplementasikannya di lapangan dalam suatu rangkaian tindakan nyata. Dan agents tersebut tentunya adalah generasi muda yang dimiliki oleh bangsa, karena dalam keadaan dimana mereka umumnya adalah masih berusia produktif maka diharapkan mereka dapat memiliki kemampuan tanggap khususnya dalam mengakselerasi proses internalisasi pengetahuan dan yang terutama adalah menjadi motor penggerak perubahan atau generator of change.

Tanpa adanya hal tersebut, maka selamanya rantai nilai dari proses pembangunan karakter dalam bentuk apapun tidak akan pernah bergeser dari tata wacana dan selamanya bangsa ini akan terus berhadapan dengan berbagai masalah dan apabila bangsa ini lambat dalam bereaksi maka akan berpotensi untuk semakin rendahnya daya saing bangsa di jangka panjang serta semakin menurunnya daya adaptifitas bangsa dalam mensikapi dinamika perkembangan global dan pada akhirnya akan menjadikan bangsa ini sulit untuk dapat mencapai tatanan kehidupan yang bermartabat. Pada paragraf berikut akan diulas tentang peran generasi muda dalam meng-engineer atau merekayasa proses pengembangan daya saing yang diperlukan oleh bangsa ini menuju pada kemandirian.

Peran Generasi Muda dalam Pembangunan Bangsa Mandiri
Secara normatif, dan sebagaimana telah hampir dapat diterima oleh umumnya kita sekalian, pembentukan karakter bangsa merupakan hal yang amat penting bagi generasi muda dan bahkan menentukan nasib bangsa di masa depan.

Selanjutnya, kita juga telah sering mendengar bahwasanya generasi muda perlu memiliki mental kepribadian yang kuat, bersemangat, ulet, pantang menyerah, disiplin, inovatif dan bekerja keras, untuk dapat menjadikan bangsanya menjadi bangsa yang memiliki daya saing tinggi, sehingga dapat berada sejajar dengan bangsa bangsa lain.

Namun pada kenyataannya, pernyataan di atas sering hanya sebatas pada retorika. Kondisi yang kita hadapi sekarang menunjukkan bahwa era globalisasi telah menempatkan generasi muda Indonesia pada posisi yang berada di tengah-tengah derasnya arus informasi yang sedemikian bebas, sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi.

Sebagai akibatnya, maka nilai-nilai asing secara disadari ataupun tidak disadari telah memberi pengaruh langsung maupun tidak langsung kepada generasi muda. Walaupun masih belum ada bukti empiris secara langsung bahwa nilai nilai asing tersebut seluruhnya memberikan dampak negatif bagi generasi muda, akan tetapi jika tidak dilakukan upaya antisipasi apapun, bukan tidak mungkin, di masa depan nanti, bangsa ini akan menjadi bangsa yang berpendirian lemah serta sangat mudah hanyut oleh hiruk-pikuknya dinamika globalisasi; dan pada akhirnya akan mudah dikendalikan oleh bangsa lain.

Gambaran umum, keadaan di atas akan memberikan pengaruh pada rasa kebangsaan (nasionalisme) di kalangan generasi muda. Meskipun belum nampak secara jelas, akan tetapi harus diakui bahwa saat ini telah mulai ada gejala dari menurunnya semangat dan rasa kebangsaan atau nasionalisme di kalangan generasi muda yang ditunjukkan dari semakin berkurangnya pemahaman generasi muda terhadap sejarah dan nilai nilai budaya bangsanya sendiri.

Upaya strategis yang harus dilakukan oleh generasi muda dalam menghadapi hal tersebut adalah sebuah koordinasi gerakan revitalisasi kebangsaan yang diarahkan terutama pada penguatan ketahanan masyarakat dan bangsa terhadap segenap upaya nihilisasi dari pihak luar terhadap nilai-nilai budaya bangsa.

Adapun generasi muda dalam melaksanakan koordinasi gerakan tersebut memiliki 3 (tiga) peran penting yakni:

  • 1. Sebagai pembangun-kembali karakter bangsa (character builder). Di tengah tengah derasnya arus globalisasi, kemudian ditambah dengan sejumlah erosi karakter positif bangsa sementara adanya gejala amplifikasi atau penguatan mentalitas negatif, seperti malas, koruptif dan sebagainya, maka peran generasi muda adalah membangun kembali karakter positif bangsa. Peran ini tentunya sangat berat, namun esensinya adalah adanya kemauan keras dan komitmen dari generasi muda untuk menjunjung nilai-nilai moral di atas kepentingan kepentingan sesaat sekaligus upaya kolektif untuk menginternalisasikannya pada kegiatan dan aktifitasnya sehari-hari.
  • 2. Sebagai pemberdaya karakter (character enabler). Pembangunan kembali karakter bangsa tentunya tidak akan cukup, jika tidak dilakukan pemberdayaan secara terus menerus. Sehingga generasi muda juga dituntut untuk mengambil peran sebagai pemberdaya karakter atau character enabler. Bentuk praktisnya adalah kemauan dan hasrat yang kuat dari generasi muda untuk menjadi role model dari pengembangan karakter bangsa yang positif. Peran ini pun juga tidak kalah beratnya dengan peran yang pertama, karena selain kemauan kuat dan kesadaran kolektif dengan kohesivitas tinggi, masih dibutuhkan adanya kekuatan untuk terlibat dalam suatu ajang konflik etika dengan entitas lain di masyarakat maupun entitas asing.
  • 3. Sebagai perekayasa karakter (character engineer) sejalan dengan perlunya adaptifitas daya saing untuk memperkuat ketahanan bangsa. Peran yang terakhir ini menuntut generasi muda untuk terus melakukan pembelajaran. Harus diakui bahwa pengembangan karakter positif bangsa, bagaimanapun juga, menuntut adanya modifikasi dan rekayasa yang tepat disesuaikan dengan perkembangan jaman. Sebagai contoh karakter pejuang dan patriotisme tentunya tidak harus diartikulasikan dalam konteks fisik, akan tetapi dapat dalam konteks lainnya yang bersifat non-fisik. Peran generasi muda dalam hal ini sangat diharapkan oleh bangsa, karena di tangan mereka-lah proses pembelajaran adaptif dapat berlangsung dalam kondisi yang paling produktif.

Hal yang berat bagi para generasi muda adalah untuk memainkan ketiga peran tersebut secara simultan dan interaktif. Memang masih diperlukan adanya peran pemerintah dan komponen bangsa lainnya dalam memfasilitasi aktualisasi peran tersebut oleh generasi muda. Namun demikian konsentrasi peran tetap pada generasi muda. Tanpa adanya peran aktif mereka dalam gerakan revitalisasi kebangsaan yang dimaksud di atas, maka bukan tidak mungkin penggerusan nilai-nilai budaya bangsa akan berjalan terus secara sistematis dan pada akhirnya bangsa ini akan semakin kehilangan integritas dan jati-dirinya.

Penutup
Harus diakui bahwa sorotan terhadap kemandirian bangsa saat ini telah semakin mengemuka. Memang benar, bahwa sebagian dari sorotan tersebut dapat dijawab dengan argumen fenomena globalisasi. Sebuah kondisi dimana mau tidak mau atau suka tidak suka, kita harus memberikan peluang dan akses yang sama kepada segala pihak, termasuk pihak asing, untuk ikut terlibat dalam berbagai percaturan nasional maupun regional di berbagai bidang, berikut segala konsekuensinya.

Menghadapi kondisi tersebut, maka satu satunya demarkasi atau garis pembatas yang tegas yang dapat kita tegakkan bersama adalah daya saing bangsa (atau national competitiveness), tentunya daya saing di sini dalam arti yang luas. Mencapai suatu daya saing yang kuat membutuhkan upaya besar dan peran aktif segenap komponen masyarakat. Salah satu fitur yang berperan kritis dalam upaya besar tersebut adalah pembinaan karakter bangsa, khususnya karakter positif bangsa yang harus terus ditumbuh-kembangkan melalui proses pembelajaran yang kontinyu sedemikian sehingga memperkuat kemampuan adaptif dari daya saing bangsa.

Dalam upaya untuk mengaktualisasikan hal tersebut, maka dituntut peran penting dari generasi muda, khususnya perannya sebagai character enabler, character builders dan character engineer. Meskipun untuk menjalankan ketiga peran tersebut secara efektif, generasi muda nantinya masih memerlukan dukungan dari pemerintah maupun komponen bangsa lainnya, namun esensi utamanya tetap pada peran generasi muda.

Hal tersebut selain karena generasi muda masih berada dalam puncak produktifitasnya, juga karena generasi muda adalah komponen bangsa yang paling strategis posisinya dalam memainkan proses transformasi karakter dan tata nilai di tengah-tengah derasnya liberalisasi informasi era globalisasi.


Sumber : http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=529&Itemid=116

Tidak ada komentar:

Posting Komentar