Sabtu, 18 Februari 2012

INDONESIA BANGKIT ATAU SAKIT?

INDONESIA BANGKIT ATAU SAKIT?

Oleh Hadi Supeno

Tanggal 17 Agustus 2007 ini genap 62 tahun Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan negara Republik Indonesia. Sebuah tindakan yang heroik historik strategik, karena dari sinilah nasib Indonesia ke depan ditentukan setelah beratus-ratus tahun hidup dalam cengkeraman kaum penjajah.

Revolusi segera berkobar untuk mengusir penjajah Belanda yang tak sudi beranjak pergi dari negeri ini. Sebagai negara baru, kesulitan demi kesulitan datang silih berganti. Konstitusi dan tradisi bernegara yang belum mapan, keberagaman etnik dan multikultur, konflik kepentingan elite politik, serta gerakan separatisme di beberapa daerah adalah persoalan nyata yang memaksa Bung Karno bekerja keras dan terpaksa berteriak; “Revolusi belum selesai!”.

Setelah ditempa berbagai gelombang kehidupan berbangsa dan bernegara Pak Harto mengantarkan Indonesia menjadi negara modern. Lewat jargon ekonomi sebagai panglima, Indonesia berhasil mengatasi berbagai kesulitan pasca tragedi 1965. Angka inflasi ditekan, beras murah disediakan, infrastruktur dibangun, investasi diundang, tahun 1985 Indonesia bisa swasembada pangan, serta dalam kurun waktu yang lama ekonomi secara konstan bisa tumbuh dalam kisaran 6-7 persen per tahun.

Dengan penuh optimisme, tahun 1994 Pak Harto mencanangkan Kebangkitan Nasional Kedua, yang digambarkan Indonesia segera tinggal landas (take off) setelah melalui tahapan-tahapan perubahan masyarakat sebagaimana teori WW Roostow (1968) ; masyarakat primitif, masyarakat agraris, masyarakat pra industri, masyarakat industri, dan konsumsi massal.

Tetapi impian untuk tinggal landas laksana pesawat air bus berbadan lebar yang terbang menjulang tinggi menembus awan gemawan melangkahi gunung gemunung menuju masyarakat modern dengan konsumsi massal tinggi gagal total. Krisis moneter bukan saja telah mengakhiri rezim Orde Baru, tetapi juga bangunan ekonomi yang laksana rumah gabus, rontok hanya dalam waktu yang amat singkat.

Pesawat besar penuh penumpang bukan tinggal landas, tetapi tinggal di landasan. Pilot diganti, tetapi kerusakan landasan terlalu parah sehingga jangankan terbang, untuk bergerak atret pun sulit. Pak Habibie menghadapi kenyataan sangat pahit ketika dilantik menjadi pilot Indonesia, nilai tukar rupiah mencapai Rp 16.000 per dolar, inflasi lebih 100 %, bunga deposito sempat mencapai 67,5 persen per tahun. Banyak bank mengalami rush, lalu kolap. Diluncurkanlah program Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk menyelamatkan bank-bank yang kolap mencapai Rp 650 triliun. Ekonomi tidak semakin baik, bank-bank tidak kembali tegak karena dana BLBI yang melebihi APBN satu tahun kala itu dibawa lari ke luar negeri.

Gus Dur, Megawati Sukarnoputri, dan disusul Susilo Bambang Yudoyono silih berganti memimpin negeri yang telah memasuki era demokratisasi. UUD 1945 diamandemen walaupun masih terus menghadirkan kontraversi. Tetapi pelaksanaan otonomi daerah dan Pemilu multi partai dan pemilihan Presiden langsung harus diakui sebagai sebuah prestasi.

Sekarang sudah 9 tahun gonjang ganjing yang melahirkan era reformasi itu berlalu. Kenyataan tidak seindah yang dibayangkan. Demokrasi tidak serta merta menghadirkan kemakmuran bagi rakyat negeri. Tingginya angka pengangguran dan kemiskinan masih menjadi problem utama bangsa. Belum lagi bencana demi bencana yang tak pernah reda semakin memperberat nestapa. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menjadi tujuan awal reformasi makin jauh dari harapan.

Mimpi bangkit

Di tengah-tengah kegalauan macam itu, awal 2007 kita dikejutkan oleh impian kembali kebangkitan Indonesia. Yayasan Indonesia Forum (YIF), di Istana Negara meluncurkan sebuah cetak biru yang diberi judul Visi Indonesia 2030, yang ditanggapi Presiden SBY sebagai mimpi bangsa yang harus diperjuangkan.

Menurut YIF, pada tahun 2030 dengan income perkapita 18.000 dollar AS`per tahun, dan jumlah penduduk 285 juta jiwa, Indonesia akan tampil sebagai kekuatan ekonomi dunia ke lima setelah China, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan India. Seperti lupa pada sejarah dan buta pada fakta, entah mengapa Jepang dan Korea tidak masuk dalam hitungan. Juga Uni Eropa dianggap satu negara. Naif bukan?

Mungkin YIF membangun mimpi berdasarkaan indikator ekonomi makro saat ini seperti; nilai tukar rupiah relative stabil, pertumbuhan di atas 6 % per tahun, cadangan devisa mencapai 52 milliar dollar AS, bunga bank di bawah 9 %, inflasi stabil di bawah 1 digit, nilai ekspor terus naik, dan indeks harga saham gabungan terus menguat.

Tetapi ada yang dilupakan oleh para perancang Visi Indonesia 2030, yakni menempatkaan pasyarat kemajuan hanya dari kacamata ekonomi. Ia lupa bahwa di atas indikator-indikator tersebut, ada aspek yang paling esensial yaitu sumber daya manusia. Semua sepakat bahwa SDM itu penting, SDM itu utama, SDM itu bisa mengalahkan potensi sumber daya alam bila memperoleh tempat yang tepat. Tetapi visi itu tidak merancang bagaimana arah SDM akan dibawa, dan tidak menempatkan sebagai prasyarat untuk mencapai Indonesia yang diimpikan.

YIF lupa, kegagalan Orde Baru justru dalam hal menyiapkan manusianya. Infrastruktur ekonomi dibangun, investasi diundang, finansial diperkuat, ekspor digenjot, tetapi pendidikan, kebudayaan, dan pembangunan karakter bangsa (national character building) dilupakan. Akibatnya, pembangunan yang telah lama dilaksanakan dengan menguras sumber-sumber alam potensial dan bergunung-gunung hutang lenyap dalam tempo singkat.

Melupakan pendidikan

Dengan perspektif seperti itu, bagi saya sah-sah saja siapapun untuk bermimpi dan menetapkan visi bagaimana Indonesia ke depan. Tetapi ada yang tidak boleh dilupakan bila tidak ingin mengulang kegagalan, yaitu membangun manusianya. Pertanyaan siapa manusia Indonesia itu, mau dibawa ke mana, apa standar minimal kemampuannya, bagaimana memberikan pelayanan pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan, harus dijawab terlebih dahulu.

Oleh sebab itu, bila sekarang muncul kesadaran perlunya Indonesia Bankit di segala bidang kehidupan, perlulah strategi kebudayaan dilakukan dengan menempatkan manusia pada derajat kemanusiaan yang tertinggi. Pembangunan manusia tidak lain pendidikan, karena dengan pendidikan itulah potensi-potensi didayagunakan untuk mencapai target-target lainnya.

Repotnya, lagi-lagi kita belum menomorsatukan pembangunan SDM. Anggaran pendidikan masih di bawah angka 20 persen APBN sesuai perintah UUD. Ukuran kemajuan masih diukur dari sudut ekonomi, bukan dari sudut SDM, kebudayaan dan karakter bangsa. Padahal mestinya eknomi untuk manusia, bukan sebaliknya. Tak bisa dibantah, jangankan dengan Amerika atau Uni Eropa, sedangkan dengan Malaysia, Thailand dan Singapura pun indeks pembangunan manusia Indonesia masih tertinggal jauh.

Nah kalau kondisinya masih begitu, Visi Indonesia 2030 tidak akan membuat Negara Indonesia bangkit, boleh jadi malahan tambah sakit. Tanpa membangun manusianya, kisah negara gagal Orde Baru akan berulang pada orde apapun namanya. “Jas Merah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah”kata Bung Karno.

Dirgahayu Indonesia. Merdeka!***

Banjarnegara, 15 Agustus 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar