Sabtu, 18 Februari 2012

Kebangkitan Nasional Dalam Konteks Revolusi Pemikiran

Opini Zackir L Makmur (Penulis adalah wartawan SK MADINA)

SERATUS tahun Kebangkitan Nasional, pada tahun ini, menjadi momen menguntai sejarah pergerakan pemikiran bangsa Indonesia di tengah narasi-narasi besar era globalisasi. Kerangka pemikiran yang ada dalam momentum Kebangkitan Nasional, jadinya, ia menciptakan harkat dan martabat bangsa. Kerangka pemikiran ini, dalam spiritnya di masa kini, meski terseksan tendensi, namun apa boleh buat harus menjadi hubungan perkembangan bangsa yang lebih modern.


Indonesia sekarang ini modern, walau dalam strategi kebudayaannya masih berbekas luka goresan kebudayaan kolonial; kendati demikian spirit Kebangkitan Nasional tetap membentuk strategi kebudayaan Indonesia modern dalam kancah pemikiran kini. Spirit itu demikian nyata manakala Dr Wahidin Sudirohusodo mapunun Dr Sutomo, mendirikan Boedi Oetomo pada 20 Mei 2008, menggunakan "alat" pemikiran yang bernama organisasi pergerakan modern Indonesia yang pertama, membutuhkan seperangkat "alat-alat" intelektual lainnya.

Sejarah startegi kebudayaan intelektual itu menjadi kebutuhan sebuah bangsa yang mengerti harkat dan martabat ditekuk kolonialisme, dan ini meniscayakan pemikiran kreatif, yang ada dalam diri bangsa kesanggupan memberikan reaksi pemikiran terhadap suatu ketertindasan.

Jadi terlalu gegabah ketika Mulyawan Karim dalam merefleksi 100 Tahun Kebangkitan Nasional di Kompas (halaman 1, 5 Mei 2008), menulis ini: Kalau saja faham politik etis tak pernah muncul di Belanda…mungkin tak akan lahir pula Dr Wahidin Sudirohusodo dan Dr Sutomo, pendiri Budi Utoma, organisasi pergerakan modern Indonesia, yang hari berdirinya, 20 Mei 2008, sampai kini kita sepakati sebagai hari Kebangkitan Nasional. Statemens yang tragis itu sama dianalogikan terhadap seorang brandalan yang mengakui bahwa ia berbuat jahat karena digoda Iblis, "coba andai tak ada Iblis, aku tak berbuat jahat," aku si Brandal itu.

Sistem Berpikir

Padahal bagaimanapun Kebangkitan Nasioanl, andai tak dilahirkan Dr Wahidin Sudihusodo dan Dr Sutomo mendirikan Boedi Oetomo, pasti ada anak bangsa ini yang melahirkan itu. Karena ini kita yakini bahwa ketertindasan selalu melahirkan para penolaknya, bukan akibat berbelas kasihan dan rasa etis si penindasnya lantas lahirlah para pembangkang. Faham politik etis jadinya harus dilihat sebagai bagian sebuah bangsa yang kelewat lama menghisap bangsa lain, malu hati, sehingga ia masih menyempatkan diri merepresentasikan kaidah-kaidah etis agar tak kehilangan muka.

Oleh karena itu Kebangkitan Nasional yang ditandai dengan lahirnya Boedi Oetomo itu, menjadi kreasi baru untuk era berikutnya, masa kini, yang tidak dapat melepaskan diri dari proses pemikiran kreatif, sehingga selalu akan terjadi pembaruan ke depan. Pembaruan ini kadang-kadang begitu maju, sehingga tak semua anak bangsa turut mengikutinya; akan tetapi siapa saja yang menjadi bagian bangsa ini harus dapat memberikan reaksi yang positif terhadap spririt Kebangkitan Nasional.

Begitulah, dengan adanya spirit Kebangkitan Nasional ini, terjadi kerangka pemikiran, yang dapat disederhanakan sebagai kerngka pemikiran yang kreatif. Dalam hubungan ini, kita adalah bangsa besar yang mau menegaskan dengan huruf-huruf besar bukanlah bangsa kuli. Dr Wahidin dan Dr Sutomo, setidak-tidaknya, simbol itu bahwa dunia kuli sebagai bangsa terjajah sengaja dikeluarkan karena kerngka pemikiran bangsa kuli tidak lagi kreatif.

Persoalannya yang menarik dalam masa kini, masihkan tetap terpegang tehuh visi itu? Apakah kini kita dalam pergaulan dunia internasional bukanlah bangsa kuli? Lantas, samapai sejauh manakah peranan kita dalam percaturan dunia? Pertanyaan-pertanyaan genting itu mau menegaskan juga bahwa mestilah kita jangan melepaskan diri dari kerangka pemikiran yang diciptakan pengetahuan tentang Kebangkitan Nasional. Dan, ini, secara sederhana menjadi sistem berpikir ke depan.

Tak ada bangsa yang menjadi pemain dalam era globasliasi ini tanpa menguatkan sistem berpikir ke depannya, meskipun barang kali sulit untuk merumuskan sistem itu, tertuma pada hal-hal yang kelihatannya majemuk. Tapi Indonesia kini sudah mempunyai sistem berpikir ke depan dengan mencanangkan Visi Indonesia 2030 (Baca Tajuk: Kebangkitan Bangsa Intelek).

Semiotik itu juga mengidentitaskan bahwa bangsa yang beresensi dan bereksitensi selalu mempunyai sistem berpikir: ia ada dan besar oleh sistem berpikir dalam dirinya sendiri, yang sekaligus merupakan struktur budayanya, sehingga ia akan merupakan suatu kesatuan pranata dan perspektif masyarakat bermartabat. Setiap unsur sosial, politik dan budaya didalamnya terikat secara struktur pemikiran kepada pemikiran kebangkitan dan kemajuan sebagai unsur-unsur lain untuk membentuk suatu jaringan kemajuan.

Tentu saja itu juga terlihat pada negara-negara yang berhasil dan maju, sebutlah antara lain yang paling gampang adalah Jepang, Amerika Serikat, China, India, kemudian Iran. Akan tetapi bagaimapun juga, Indonesia adalah reaksi terhadap suatu belenggu penjajahan. Indonesia hadir kini tak mungkin dikuasai oleh suatu sistem budaya tertentu, sehingga nasionalisme dapat dilihat dalam hubungan keseluruhan sistem tatanan berbangsa. Dan agak lebih khusus, nasionalisme juga dikuasai oleh sistem berpikir kebangsaan itu sendiri.

Episode Kesadaran

Nasionalisme di sini, jadinya, harus dengan sengaja dihidupkan untuk menantang sistem berpikir merugikan NKRI yang terdapat pada narasi-narasi besar era globalisasi. Dengan begitu tidak terjadi suatu pergeseran paradigma, melainkan ia bernama perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu dalam suatu keyakinan atau asumsi dasar sepanajang Kebangkitan Nasional 100 tahun. Dan ini pula suatu konstelasi keyakinan ataupun asumsi dasar, yang melandasi persepsi dan tindakan kita dalam mengutuhkan nasionalisme di era globalisasi.

Inilah yang kemudian momentum Kebangkitan Nasional 100 tahun jadi lebih jelas bersama episode kesadaran kebangsaan lainnya dalam sejarah sebuah bangsa yang terjajah 350 tahun, Maka, setidak-tidaknya, kesadaran kebangsaan ini juga menggambarkan mengenai apa dan bagaimana "revolusi pemikiran" itu sebenarnya. Akan tetapi, kita tahu juga, arus kebangsaan ini menghasilkan pula konsekuensinya dalam berbagai problem yang ada di tataran sosial, politik, bahasa, maupun budaya. Kendati demikian problema yang ada harus dilihat, sekali lagi, sebagai penelaahan standar menentukan apa yang harus diperhitungkan sebagai problem yang dapat diterima negara modern.

Kebangkitan Nasional 100 tahun, dengan begitu juga mau tidak mau harus merembetkan momentumnya ke tataran kesahihan pemecahan problem kebangsaan kini. Dan, mentransformasikan revolusi pemikiran yang benar-benar perlu kita implementasikan sebagai suatu transformasi dunia, yang di dalamnya pemikiran bangsa Indoneisa ikut membentuk. Maka kita, Indonesia, lewat spirit Kebangkitan Nasional berani menyimpulkan bahwa transisi beruntun dari suatu paradigma ke paradigma itu, melalui jalan revolusi pemikiran tadi, merupakan pola perkembangan aktual kabangsaan yang matang. Seratus tahun, bagaimana pun kurun yang cukup panjang mendewasa pemikiran sebuah bangsa untuk menghasilkan sebuah sintesa dan inspirasi pemikitan yang mampu menarik generasi berikutnya, maka relevansi dan aktualisasi Kebangkitan Nasional tetap terpelihara

Waspadai Keterperangkapan

Jangan sampai spirit dan inspirasi Kebangkitan Nasional, terjerumus sebagai semacam "ajaran", sebab ketika ia sebagai ajaran –maka, ajaran yang lebih tua akan menghilang sedkit demi sedikit. Untuk sebagian, kelenyapan ini disebabkan oleh konversi yang tidak memadai lagi menrima pemikiran dan paradigma yang baru. Padahal sangat bolej jadi paradigma yang sedang berlaku memberikan jadwal seluruh kegiatan rutin progresif pemikiran. Di sini, sangat boleh jadi juga, terjadinya pergeseran paradigma, semacam berubah arah sesuai dengan paradigma baru.

Keterperangkapan itu membuat tiap momentum Kebangkitan Nasional jadi cara yang amat serupa paradigma tunggal, tanpa mempeluangi konteks untuk aktivitas rutin dalam masalah-masalah pergulatan pemikiran kebangsaan, dan pergeseran terjadi dari paradigma satu ke yang lainnya. Padahal, satu aspek perubahan arah ke masa depan akan berupa terjadi proses pergulatan pemikiran dan pardigma.

Keterperangkapan yang tadi juga membuat pergeseran paradigma yang berkaitan dengan transisi kebangsaan, jadi statis, lapuk, dan tidak ke arah masa depan. Dan ini akan mencerminkan menjauhi bagian kemajuan berbangsa dan eksterior bernegara. Ide-ide pokok dalam premise Kebangkitan Nasional tidak bisa lagi diharapkan merambah ke tataran kepedulian pengetahuan, pendidikan, pelayanan masyarakat; kerja, dan kesejahteraan. Tegasnya: keterperangkapan itu memabuat kita tetap egois dan sektarian walau merayakan Kebangkitan Nasional 100 tahun.

Spirit Berperan

Akan tetapi kita tidak canggung mengalami revolusi pemikiran, juga tetap yakin bahwa apa yang penting bagi negeri ini, atau apa yang harus didahulukan di atas segalanya, adalah penciptaan adil-makmur berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila. Dengan demikian Kebangkitan Nasional berbeda dengan momentum lain karena metode kelahiran spirit identitasnya, yang menjauhkan diri dari kekarasan, dan berbeda dengan revolusi pemikiran lainnya karena motifnya.

Dalam segala macam problema kontemporer, spirit Kebangkitan Nasional kini harus kita tempatkan untuk Indonesia berperan signifikan di tataran pergaulan bangsa-bangsa dunia; dengan arti ini segala macam problema kontemporer dapat teratasi setahap demi setahap, tidak malah menjerumuskan hal-hal yang tidak disukai dan preferensinya. Masalah bagi kita bukanlah apakah terdapat Kebangkitan Nasional, tetapi berapa banyak, seberapa terorganisasikannya, dan macam apa; juga, pada suatu tahap selama pemikiran progresif, apakah perlu diupayakan untuk membebaskan "pemikiran kolonial" sejauh mungkin.

Peranan yang dimainkan oleh tiap komponen bangsa, dengan begitu, meningkat terus-menerus sejak 100 tahun lampau. Sehingga pada masa sekarang, kelompok-kelompok sosial-politik yang berbeda di dalam bangsa yang sama, tidak terpisah sama sekali, tidak terpisah hanya oleh keprcayaan dan penilaian mereka terhadap harapan-harapan akan masa depan.

Kebangkitan Nasional pertama-tama adalah akibat revolusi pemikiran dari keinginan bangsa ini terbebas dari kungkungan kolonialisme, dan kemudian penyebab dari keinginan kita kini di dunia modern untuk tetap menandai bahwa kita adalah bukan bangsa budak. Dan ini sebagai "perang peradaban" yang disebabkan energi dan antusiasme yang dibangkitkan oleh Kebangkitan Nasional.

Persamaan hak, kemerdekaan, dan martabat bangsa, telah dibangun yang antara lain dengan Kebangkitan Nasional, dan jika bukan karena Kebangkitan Nasional yang revolusi pemikiran, anak-anak bangsa ini tidak akan sanggup memberikan pengorbanan-pengorbanan yang dituntut dari idetitas bangsa yang intelek dan bermartabat.

Kemauan hidup mandiri selaku bangsa lepas dari kolonial, telah memperbesar pula hingga tak terhingga kesempatan-kesempatan bagi Kebangkitan Nasional. Ini juga merupakan alasan utama mengapa kini kita jadikan momentum100 tahun Kebangkitan Nasional lebih berarti. ***

Sumber : http://madina.co.id/index.php/opini/3122-kebangkitan-nasional-dalam-konteks-revolusi-pemikiran.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar