Sabtu, 18 Februari 2012

Stanchart: RI Masuk 10 Raksasa Ekonomi, 2020 Kekuatan Cina menggeser Amerika Serikat yang pada 2010 menjadi negara terbesar.

Stanchart: RI Masuk 10 Raksasa Ekonomi, 2020

http://bisnis.vivanews.com/news/read/189139-indonesia-masuk-10-besar-ekonomi-2020

Stanchart: RI Masuk 10 Raksasa Ekonomi, 2020
Kekuatan Cina menggeser Amerika Serikat yang pada 2010 menjadi negara terbesar.

Nur Farida Ahniar

VIVAnews - China akan menjadi negara adidaya ekonomi dunia pada 2020. Kekuatan Cina bakal menggeser Amerika Serikat yang pada 2010 masih menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar dunia.

Dalam laporan terbaru Standard Chartered Research yang berjudul "The Super-Cycle Report" pada 15 November 2010, bank terkemuka internasional itu menilai dunia tengah berada dalam sebuah kelanjutan periode waktu dari pertumbuhan ekonomi tinggi.

Negara-negara berkembang akan menjadi pendorong utama pertumbuhan. Bahkan, negara-negara berkembang akan dapat melampaui negara maju dengan lebih baik. Akibatnya, keseimbangan kekuatan global ekonomi akan bergeser tegas dari Barat ke Timur. "Asia akan mendorong sebagian besar dari pertumbuhan global selama 20 tahun ke depan," kata Stanchart.

Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi China akan menjadi 6,9 persen selama dua dekade mendatang, China menyalip Amerika Serikat untuk sebagai negara adidaya ekonomi dunia pada 2020.

Total PDB China saat itu sekitar US$ 24,6 triliun, meningkat dibanding 2010 sebesar US$ 5,9 triliun. Sedangkan, PDB Amerika sendiri diperkirakan mencapai US$ 23,3 triliun meningkat dibanding 2010 sebesar US$ 14,6 triliun.

Pertumbuhan ekonomi India naik 9,3 persen dalam periode yang sama dan mengekori Amerika Serikat sebagai perekonomian terbesar ketiga pada 2030. PDB India akan mencapai US$9,6 triliun. Posisi India langsung melesat, karena pada 2010 negara ini tidak masuk dalam daftar negara terbesar.

Selain China dan India, kekuatan baru yang bakal melesat adalah Brazil dan Rusia. Dalam satu dekade lagi, Brazil akan menempati posisi kelima dengan PDB US$5,1 triliun. Sedangkan, Rusia akan menempati posisi kedelapan dengan PDB US$ 3,5 triliun.

Kejutan lainnya adalah masuknya Indonesia - seperti halnya India - yang tahun ini tak masuk 10 negara terbesar ekonomi dunia. Namun, pada sepuluh tahun lagi, Indonesia akan masuk urutan kesepuluh dengan total PDB US$3,2 triliun.

Sementara, negara-negara Eropa yang sekarang dikenal sebagai negara industri maju justru turun dari posisi saat ini. Bahkan, Italia dan Kanada justru terpental dari sepuluh besar.

10 Besar Ekonomi Dunia 2010 dan 2020
2010 PDB (US$ triliun) 2020 PDB (US$ triliun)
Amerika Serikat 14,6 China 24,6
China 5,9 Amerika Serikat 23,3
Jepang 5,6 India 9,6
Jerman 3,3 Jepang 6,0
Prancis 2,6 Brazil 5,1
Inggris 2,3 Jerman 5,0
Italia 2,0 Prancis 3,9
Brazil 2,0 Rusia 3,5
Kanada 1,6 Inggris 3,4
Rusia 1,5 Indonesia 3,2

Sumber: IMF dan Stanchart

Menurut laporan Stanchart, peta negara maju dunia selalu berubah tiap dekade. Pada abad 19, awalnya Inggris sebagai negara produktif memimpin secara ekonomi, lalu disusul oleh Amerika Serikat menjelang akhir abad 19.

Namun, pasca era perang dunia, Jepang menjadi negara maju di bidang ekonomi. Sekarang, China menjadi negara yang ekonominya paling dinamis, sedangkan India akan menyusul secepatnya.

Kemajuan tersebut membuat standar hidup yang diukur dengan pendapatan per kapita akan meningkat sembilan kali lipat di China dan India dalam kurun waktu antara tahun 2000 hingga 2030.

Sedangkan pada 2030, kekuatan ekonomi akan bergeser dari negara Barat ke negara Timur. Sedangkan AS, Uni Eropa dan Jepang yang mewakili 72 persen ekonomi global harus menyusut hanya 29 persen pada 2030. Saat itu, kekuatan ekonomi telah pindah ke kekuatan baru, seperti China, India, Brazil dan Indonesia. (hs)

Sumber : http://indonesian-treasury.blogspot.com/2011/01/stanchart-ri-masuk-10-raksasa-ekonomi.html

Kenapa Ekonomi Indonesia Geser Jepang 2030?

Kenapa Ekonomi Indonesia Geser Jepang 2030?

Indonesia akan masuk 10 raksasa ekonomi 2020, dan lima besar pada 2030.


Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (Nur Farida Ahniar)

VIVAnews - Pada 2030, ekonomi Indonesia diperkirakan akan mengalahkan Jepang. Pada tahun itu, Indonesia menempati peringkat ke lima negara terbesar, sedangkan Jepang peringkat ke enam.

Dalam laporan khusus Stanchart berjudul "The Super-Cycle Report", Indonesia mulai menjadi negara bersinar yang semula menempati peringkat ke-28 pada 2000, bakal menjadi salah satu raksasa ekonomi ekonomi dunia dalam dua dekade mendatang. Berada di posisi kelima, Indonesia akan tampil mendampingi China, Amerika Serikat, India dan Brazil.

Laporan Stanchart sesungguhnya menambah daftar beberapa laporan lembaga keuangan dunia sebelumnya yang meyakini Indonesia bakal menjadi pemain terkemuka dalam beberapa dekade mendatang.

Sebelumnya, Goldman Sachs Group memperkenalkan empat negara calon kekuatan ekonomi baru dunia pada 2020 dengan sebutan BRIC, kepanjangan dari Brazil, Rusia, India dan China. BRIC akan menjadi kekuatan ekonomi paling dominan pada 2050.

Selain BRIC, Goldman Sachs membuat istilah baru, yakni Next11. Ini mencakup Indonesia, Turki, Korea Selatan, Meksiko, Iran, Nigeria, Mesir, Filipina, Pakistan, Vietnam dan Bangladesh.

Lembaga keuangan lainnya, Morgan Stanley malah mengusulkan tambahan Indonesia pada BRIC menjadi BRICI. Alasannya, dalam lima tahun ke depan, lembaga terkemuka ini memperkirakan PDB Indonesia bakal mencapai US$800 miliar.

Majalah bergengsi The Economist, pada Juli 2010 juga memasukkan Indonesia sebagai calon kekuatan ekonomi baru pada 2030 di luar BRIC. The Economist mengenalkan akronim baru dengan sebutan CIVETS, kepanjangan dari Colombia, Indonesia, Vietnam, Egypt, Turkey dan South Africa.

Laporan Stanchart menyebutkan negara-negara berkembang akan melampaui negara maju dengan lebih baik. Akibatnya, keseimbangan kekuatan global ekonomi akan bergeser tegas dari Barat ke Timur.

Pemicunya adalah peningkatan perdagangan, terutama pada pasar-pasar dari negara berkembang, industrialisasi yang pesat, urbanisasi dan meningkatnya masyarakat kelas menengah di negara berkembang.

"Asia akan mendorong sebagian besar dari pertumbuhan global selama 20 tahun ke depan," kata Stanchart.

***

Saat ini, Indonesia yang merupakan kekuatan ekonomi terbesar di kawasan ASEAN memang sudah masuk dalam jajaran 20 kekuatan ekonomi dunia yang tergabung dalam forum G-20. Namun, Indonesia belum masuk ke dalam 10 negara besar dunia.

Namun, seperti dilaporkan Stanchart, pada 2020 Indonesia bakal masuk peringkat 10 raksasa ekonomi dunia dengan total PDB US$3,2 triliun. Sementara pada 2030, Indonesia bakal mengalahkan Jepang yang melorot ke peringkat enam dari peringkat lima 2020. Pada saat itu, PDB Indonesia diperkirakan mencapai US$9,3 triliun.

Pertanyaannya, mengapa Indonesia bakal menjadi kekuatan baru ekonomi dunia seperti halnya China dan India?

Menurut Stanchart, negara-negara ini memiliki suplai tenaga kerja yang murah dan produktif mendukung pertumbuhan negara Asia yang diperkirakan tumbuh rata-rata 5,2 persen.

Khusus Indonesia, menurut Stanchart, akan menjadi negara bersinar lantaran juga didukung oleh pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen dalam dua dekade mendatang. Pertumbuhan ini didukung oleh komoditas ekspor. "Indonesia bahkan seharusnya bisa mendepak Rusia dalam kelompok BRIC," tulis laporan Stanchart.

Namun, untuk menggapai impian besar tersebut, Indonesia dan negara-negara Asia lainnya menghadapi sejumlah tantangan. Di antaranyar adalah perlunya meningkatkan basis manufaktur agar mempunyai nilai tambah untuk memasok barang setengah jadi dan barang modal.

Selain itu, Indonesia juga harus mengatasi kurangnya infrastruktur, dan sektor jasa harus melengkapi sektor manufaktur untuk menambah dorongan bagi pertumbuhan ekonomi. (umi)

• VIVAnews
Sumber : http://fokus.vivanews.com/news/read/189227-mengapa-ekonomi-indonesia-geser-jepang-

Stanchart: 2030, Ekonomi RI Kalahkan Jepang

Stanchart: 2030, Ekonomi RI Kalahkan Jepang

Pada 2030, ekonomi Indonesia bukan sekedar menggeser Jerman, Prancis, Rusia dan Inggris.


Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (Heri Susanto)

VIVAnews - Optimisme Indonesia sebagai calon kekuatan ekonomi dunia baru kian merebak. Kali ini, keyakinan itu datang dari bank nomor satu di Inggris, Standard Chartered Bank yang memperkirakan kekuatan ekonomi Indonesia akan mengalahkan Jepang pada 2030.

Dalam laporan khusus Stanchart berjudul "The Super-Cycle Report" yang baru saja dipublikasikan 15 November ini, bank terkemuka internasional itu menilai dunia tengah berada dalam sebuah kelanjutan periode waktu dari pertumbuhan ekonomi tinggi yang mereka sebut dengan istilah super-cycle.

Menurut Dr. Gerard Lyons, Chief Economist and Group Head of Global Research Stanchart, sebuah super-cycle berarti akan terjadi potensi terbalik dalam hal pertumbuhan global yang kuat. Ini juga tak terlepas dari fakta bahwa negara-negara berkembang akan menjadi pendorong utama pertumbuhan, sedangkan negara barat memiliki kemampuan untuk mendapatkan keuntungan dari perubahan ekonomi global dengan beradaptasi dan berubah.”

Pertumbuhan kuat dimulai sejak tahun 2000 dan akan berlangsung hingga beberapa dekade mendatang. "Pada 2030, volume perekonomian global akan mencapai lebih dari US$300 triliun," demikian laporan tersebut. Volume ini naik dibandingkan posisi saat ini sebesar US$62 triliun.

Yang lebih menarik, kata laporan itu, negara-negara berkembang akan dapat melampaui negara maju dengan lebih baik. Akibatnya, keseimbangan kekuatan global ekonomi akan bergeser tegas dari Barat ke Timur. Pemicunya adalah peningkatan perdagangan, terutama pada pasar-pasar dari negara berkembang, industrialisasi yang pesat, urbanisasi dan meningkatnya masyarakat kelas menengah di negara berkembang.

"Asia akan mendorong sebagian besar dari pertumbuhan global selama 20 tahun ke depan," kata Stanchart. Asia yang kerap disebut adalah China, India dan Indonesia.

Pada saat itu, taraf hidup yang diukur dengan pendapatan per kapita riil, akan meningkat sembilan kali lipat di China dan India antara tahun 2000 dan 2030. Peningkatan penghasilan pribadi akan mendorong miliaran orang masuk kelas menengah dan meningkatnya konsumsi akan memacu pertumbuhan ekonomi domestik.

Tingkat pertumbuhan ekonomi China akan menjadi 6,9 persen selama dua dekade mendatang, bahkan menyalip Amerika Serikat untuk sebagai negara adidaya ekonomi dunia dalam satu dekade, yakni pada 2020. Pertumbuhan ekonomi India naik 9,3 persen dalam periode yang sama dan mengekori Amerika Serikat sebagai perekonomian terbesar ketiga pada 2030.

Bagaimana dengan Indonesia?

Menurut laporan tersebut, dalam satu dekade mendatang, Indonesia akan menempati posisi kesepuluh sebagai kekuatan ekonomi dunia. Indonesia berada di bawah Jerman, Prancis, Rusia dan Inggris yang berada di urutan keenam hingga kesembilan.

Namun, pada satu dekade berikutnya atau 2030, Indonesia bukan hanya mengalahkan empat negara tersebut. Indonesia bahkan akan mengalahkan Jepang yang sekarang merupakan kekuatan ekonomi terbesar ketiga dunia setelah Amerika dan China.

Pada saat itu, Indonesia berada di posisi kelima dunia dengan produk domestik bruto US$9,3 triliun sedangkan Jepang di urutan keenam dengan PDB US$8,4 triliun.

Sumber : http://bisnis.vivanews.com/news/read/189101-stanchart--2030--ekonomi-ri-kalahkan-jepang

INDONESIA BANGKIT ATAU SAKIT?

INDONESIA BANGKIT ATAU SAKIT?

Oleh Hadi Supeno

Tanggal 17 Agustus 2007 ini genap 62 tahun Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan negara Republik Indonesia. Sebuah tindakan yang heroik historik strategik, karena dari sinilah nasib Indonesia ke depan ditentukan setelah beratus-ratus tahun hidup dalam cengkeraman kaum penjajah.

Revolusi segera berkobar untuk mengusir penjajah Belanda yang tak sudi beranjak pergi dari negeri ini. Sebagai negara baru, kesulitan demi kesulitan datang silih berganti. Konstitusi dan tradisi bernegara yang belum mapan, keberagaman etnik dan multikultur, konflik kepentingan elite politik, serta gerakan separatisme di beberapa daerah adalah persoalan nyata yang memaksa Bung Karno bekerja keras dan terpaksa berteriak; “Revolusi belum selesai!”.

Setelah ditempa berbagai gelombang kehidupan berbangsa dan bernegara Pak Harto mengantarkan Indonesia menjadi negara modern. Lewat jargon ekonomi sebagai panglima, Indonesia berhasil mengatasi berbagai kesulitan pasca tragedi 1965. Angka inflasi ditekan, beras murah disediakan, infrastruktur dibangun, investasi diundang, tahun 1985 Indonesia bisa swasembada pangan, serta dalam kurun waktu yang lama ekonomi secara konstan bisa tumbuh dalam kisaran 6-7 persen per tahun.

Dengan penuh optimisme, tahun 1994 Pak Harto mencanangkan Kebangkitan Nasional Kedua, yang digambarkan Indonesia segera tinggal landas (take off) setelah melalui tahapan-tahapan perubahan masyarakat sebagaimana teori WW Roostow (1968) ; masyarakat primitif, masyarakat agraris, masyarakat pra industri, masyarakat industri, dan konsumsi massal.

Tetapi impian untuk tinggal landas laksana pesawat air bus berbadan lebar yang terbang menjulang tinggi menembus awan gemawan melangkahi gunung gemunung menuju masyarakat modern dengan konsumsi massal tinggi gagal total. Krisis moneter bukan saja telah mengakhiri rezim Orde Baru, tetapi juga bangunan ekonomi yang laksana rumah gabus, rontok hanya dalam waktu yang amat singkat.

Pesawat besar penuh penumpang bukan tinggal landas, tetapi tinggal di landasan. Pilot diganti, tetapi kerusakan landasan terlalu parah sehingga jangankan terbang, untuk bergerak atret pun sulit. Pak Habibie menghadapi kenyataan sangat pahit ketika dilantik menjadi pilot Indonesia, nilai tukar rupiah mencapai Rp 16.000 per dolar, inflasi lebih 100 %, bunga deposito sempat mencapai 67,5 persen per tahun. Banyak bank mengalami rush, lalu kolap. Diluncurkanlah program Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk menyelamatkan bank-bank yang kolap mencapai Rp 650 triliun. Ekonomi tidak semakin baik, bank-bank tidak kembali tegak karena dana BLBI yang melebihi APBN satu tahun kala itu dibawa lari ke luar negeri.

Gus Dur, Megawati Sukarnoputri, dan disusul Susilo Bambang Yudoyono silih berganti memimpin negeri yang telah memasuki era demokratisasi. UUD 1945 diamandemen walaupun masih terus menghadirkan kontraversi. Tetapi pelaksanaan otonomi daerah dan Pemilu multi partai dan pemilihan Presiden langsung harus diakui sebagai sebuah prestasi.

Sekarang sudah 9 tahun gonjang ganjing yang melahirkan era reformasi itu berlalu. Kenyataan tidak seindah yang dibayangkan. Demokrasi tidak serta merta menghadirkan kemakmuran bagi rakyat negeri. Tingginya angka pengangguran dan kemiskinan masih menjadi problem utama bangsa. Belum lagi bencana demi bencana yang tak pernah reda semakin memperberat nestapa. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menjadi tujuan awal reformasi makin jauh dari harapan.

Mimpi bangkit

Di tengah-tengah kegalauan macam itu, awal 2007 kita dikejutkan oleh impian kembali kebangkitan Indonesia. Yayasan Indonesia Forum (YIF), di Istana Negara meluncurkan sebuah cetak biru yang diberi judul Visi Indonesia 2030, yang ditanggapi Presiden SBY sebagai mimpi bangsa yang harus diperjuangkan.

Menurut YIF, pada tahun 2030 dengan income perkapita 18.000 dollar AS`per tahun, dan jumlah penduduk 285 juta jiwa, Indonesia akan tampil sebagai kekuatan ekonomi dunia ke lima setelah China, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan India. Seperti lupa pada sejarah dan buta pada fakta, entah mengapa Jepang dan Korea tidak masuk dalam hitungan. Juga Uni Eropa dianggap satu negara. Naif bukan?

Mungkin YIF membangun mimpi berdasarkaan indikator ekonomi makro saat ini seperti; nilai tukar rupiah relative stabil, pertumbuhan di atas 6 % per tahun, cadangan devisa mencapai 52 milliar dollar AS, bunga bank di bawah 9 %, inflasi stabil di bawah 1 digit, nilai ekspor terus naik, dan indeks harga saham gabungan terus menguat.

Tetapi ada yang dilupakan oleh para perancang Visi Indonesia 2030, yakni menempatkaan pasyarat kemajuan hanya dari kacamata ekonomi. Ia lupa bahwa di atas indikator-indikator tersebut, ada aspek yang paling esensial yaitu sumber daya manusia. Semua sepakat bahwa SDM itu penting, SDM itu utama, SDM itu bisa mengalahkan potensi sumber daya alam bila memperoleh tempat yang tepat. Tetapi visi itu tidak merancang bagaimana arah SDM akan dibawa, dan tidak menempatkan sebagai prasyarat untuk mencapai Indonesia yang diimpikan.

YIF lupa, kegagalan Orde Baru justru dalam hal menyiapkan manusianya. Infrastruktur ekonomi dibangun, investasi diundang, finansial diperkuat, ekspor digenjot, tetapi pendidikan, kebudayaan, dan pembangunan karakter bangsa (national character building) dilupakan. Akibatnya, pembangunan yang telah lama dilaksanakan dengan menguras sumber-sumber alam potensial dan bergunung-gunung hutang lenyap dalam tempo singkat.

Melupakan pendidikan

Dengan perspektif seperti itu, bagi saya sah-sah saja siapapun untuk bermimpi dan menetapkan visi bagaimana Indonesia ke depan. Tetapi ada yang tidak boleh dilupakan bila tidak ingin mengulang kegagalan, yaitu membangun manusianya. Pertanyaan siapa manusia Indonesia itu, mau dibawa ke mana, apa standar minimal kemampuannya, bagaimana memberikan pelayanan pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan, harus dijawab terlebih dahulu.

Oleh sebab itu, bila sekarang muncul kesadaran perlunya Indonesia Bankit di segala bidang kehidupan, perlulah strategi kebudayaan dilakukan dengan menempatkan manusia pada derajat kemanusiaan yang tertinggi. Pembangunan manusia tidak lain pendidikan, karena dengan pendidikan itulah potensi-potensi didayagunakan untuk mencapai target-target lainnya.

Repotnya, lagi-lagi kita belum menomorsatukan pembangunan SDM. Anggaran pendidikan masih di bawah angka 20 persen APBN sesuai perintah UUD. Ukuran kemajuan masih diukur dari sudut ekonomi, bukan dari sudut SDM, kebudayaan dan karakter bangsa. Padahal mestinya eknomi untuk manusia, bukan sebaliknya. Tak bisa dibantah, jangankan dengan Amerika atau Uni Eropa, sedangkan dengan Malaysia, Thailand dan Singapura pun indeks pembangunan manusia Indonesia masih tertinggal jauh.

Nah kalau kondisinya masih begitu, Visi Indonesia 2030 tidak akan membuat Negara Indonesia bangkit, boleh jadi malahan tambah sakit. Tanpa membangun manusianya, kisah negara gagal Orde Baru akan berulang pada orde apapun namanya. “Jas Merah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah”kata Bung Karno.

Dirgahayu Indonesia. Merdeka!***

Banjarnegara, 15 Agustus 2007

Kebangkitan Ekonomi Indonesia 2030 dengan Entrepreneurship

Ekonomi Makro dan Entrepreneurship

Terinspirasi kembali oleh karya klasik Yoshihara Kunio, The Rise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia ( 1988), saya berusaha untuk mencari interkoneksi antara kondisi ekonomi makro yang nampak dinamis dan canggih di media ( namun sulit dimengerti oleh awam yang telanjur terkesima dengan penjelasan penuh istilah keren a la akuntansi ), dengan posisi saya sebagai pelaku ekonomi mikro serta gembar- gembor soal "kebangkitan ekonomi" Indonesia 2030 ( mencari tahu, apakah ini optimisme realistik atau optimisme platonik).

Secara singkat, Yoshihara berpendapat bahwa kapitalisme Asia Tenggara menjadi ersatz karena dua hal,

Yang pertama; Campur tangan pemerintah terlalu banyak, sehingga mengganggu prinsip kompetisi pasar. Belum lagi sebenarnya banyak pihak di dalam pemerintahan yang main di dua kaki, bisnis dan politik, atau saudara seiblis-nya, bisnis dan militer. Kedua hal ini menimbulkan jamur beracun bernama pemburu rente ( dan KKN tentunya). Bagi Anda yang suka dengan buku investigatif, tentu paham bagaimana detail berjalannya Pertamina di bawah Ibnu Sutowo, atau monopoli terigu Bogasari- Indofood yang nampak gagah tapi bikin miris itu. Hal ini membentuk budaya yang mematikan wirausahawan sejati, yang sebenarnya terbentuk dari bibit persamaan kesempatan untuk berusaha.

Yang kedua; kapitalisme di Indonesia (Asia Tenggara) tidak didasarkan pada perkembangan teknologi yang memadai, akibatnya, sampai sekarang kita merasakan bahwa industrialisasi yang mandiri itu tak pernah tumbuh. Kapitalisme di Asia Tenggara dominan di bidang jasa, kalaupun di bidang industri, dia hanya bergerak sebagai "kapitalisme komprador" yaitu bertindak sebagai agen industri manufaktur asing di negerinya sendiri ( faktor murahnya manpower berkemampuan teknis tinggi).

Padahal untuk membangun kemandirian ekonomi, maka industri yang berbasis kreasi teknologi khas- budaya masyarakat ( yang paling tahu target dan kebutuhannya), adalah sangat penting. [ Jadi, Anda jangan berharap pada kami yang digodok di institut teknologi untuk mampu menjadi motor lahirnya industri berbasis teknologi-yang bisa memberi nilai tambah ekonomi buat faktor produksi di Indonesia- kenapa ? Sejak semula didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda, institut ini memang dimaksudkan untuk menyuplai tenaga ahli teknis murah bagi perusahaan Belanda dari kalangan pribumi.

Menilik cerita Bernard HM Vlekke, saya mulai tersadar nampaknya keadaaan itu tidak berubah hingga sekarang, kami dengan bangga hati dan bersemangat tinggi menjadi bagian dari para "komprador" *]

Memetik pendapat dari Noam Chomsky, bahwa Asia Tenggara secara defaultnya adalah penghasil bahan baku, dan port-nya adalah Singapura. Sekali lagi, kalau mengingat kembali memori sejarah, bukankah Portugis dan Belanda dulu sempat- sempatnya mampir ke sini memang karena kita "kaya" bahan baku ? Kalau tidak "kaya", lalu apa yang membuat nusantara layak untuk diajak "berdagang" ( baca : dijajah) oleh perusahaan multinasional bernama VOC ?

Dan kesadaran bahwa yang berdagang ( baca : menjajah) nusantara itu adalah sebuah perusahaan quasi militer ( baca : kongsi dagang yang dillindungi tentara) pun, jarang sekali yang menyadari*. Artinya, jika sampai sekarang ekspor Indonesia masih di sekitaran bahan baku ( misal : sawit, batubara, tembaga, atau emas-nya Freeport), menurut hemat saya, tidak ada perubahan signifikan .Industri kita mengalami stagnasi selama 30 tahun terakhir. Jika pemahaman yang dimaksud dalam konsep industri adalah kontribusinya pada pemasukan negara, ditinjau dari proporsi industri terhadap pertanian, maka sudah signifikan. Tapi, jika mengacu pada pandangan industri kontemporer, kita jauh panggang dari api. Karena yang dimaksud dengan industrialisasi adalah pendalaman industri. Kemajuan pendalaman industri ini terlihat dari gradasi peningkatan teknologi proses dan nilai tambah terhadap bahan baku asal ( faktor produksi).

Kita tidak bisa stagnan bergantung pada industri berbasis low technology yang nilai tambahnya rendah sekali. Banyak industri kita terjebak pada budaya merakit ( assembling). Saya mencoba untuk menengok ke tetangga, siapa tahu ada yang bisa kita pelajari, yaitu Korea Selatan. Setiap sepuluh tahun pada mereka terjadi perubahan pengembangan industri. Selalu ada yang bisa diunggulkan, misalkan pada 1960-an, mereka unggul pada ekspor raw silk. Bertahap pada 1970-an ke wigs, ships pada 1980-an, leather goods pada 1990-an, dan pada 200-an sampai dengan sekarang pengembangan automobiles. Kunci dari pendalaman industri adalah pada kekuatan perbaikan terus menerus ( Continues Improvement), yang tentunya bertumpu pada riset dan pengembangan.

Prof Michael Porter membagi tahapan industrialisasi menjadi tiga, yaitu tahap factor driven (digerakkan oleh ketersediaan faktor produksi) didalamnya adalah : Angola, Bolivia, dan India; tahap investment driven (didorong oleh kekuatan investasi) terdapat : Brasil, Afrika Selatan, dan Rusia dan tahap innovation driven (dimotori kemampuan inovasi) didalamnya : Israel, Jepang, Jerman, dan AS. Pada awalnya, industrialisasi lebih mengandalkan pada upah buruh rendah dan ketersediaan sumber daya yang berlimpah.

Setelah itu laju industrialisasi lebih ditentukan oleh faktor investasi. Itu sebabnya, persaingan antarnegara berkembang yang paling menonjol saat ini adalah persaingan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif agar para investor dapat bergerak leluasa di negara-negara tersebut. Bermacam cara dilakukan, dari deregulasi sampai pemberian insentif besar-besaran. Tak ada negara yang mau ketinggalan dalam perlombaan memberi kemudahan dan kenyamanan untuk investasi ini. Negara yang peraturannya berbelit- belit, birokrasinya ruwet, korupsinya meluas, kualitas sumber daya manusianya rendah, dan infrastruktur bisnisnya parah, tak akan banyak menarik investor. Yang akan terjadi adalah lingkaran setan (vicious circle) ekonomi biaya tinggi.

Investor akan memilih negara lain sebagai basis produksinya. Lalu, apakah jika investasi asing masuk dalam jumlah besar maka Indonesia layak masuk kategori tahap ketiga ? Belum tentu, kondisi pemain pasar uang di Indonesia masih didominasi oleh asing, berkisar antara 60- 70 %. Hal tersebut menyebabkan kondisi ekonomi kita masih sangat terpengaruh oleh asing. Arus uang masuk ke Indonesia sifatnya hanya untuk mencari keuntungan ( gain) sementara, sehingga tidak masuk menjadi modal permanen bagi pembangunan Indonesia.

Saya cenderung kepada pembangunan bertahap, transformasi progresif ini harus ada dan terjadi, mulai dari yang kecil namun masif -melibatkan semua pihak- dan mulai dari sekarang tentunya. Bukan hanya pemerintah saja yang bisa diharapkan ( kali ini saya berpikir positif semoga pemerintah benar- benar bisa dikasih harapan), tapi semua pihak masyarakat. Ada data yang menarik, korelasi positif antara indeks entrepreneurship ( kewirausahaan) dengan peningkatan positif pendapatan perkapita.

Tapi kewirausahaan macam mana yang berpengaruh positif terhadap pendapatan perkapita negara ? Dalam hal ini, fokusnya sekali lagi pada Opportunity Based Entrepreneurship (kewirausahaan karena tersedianya peluang untuk menjadi pemain pasar). Untuk negara semacam Indonesia, maka ada beberapa prasyarat utama yang harus ada, yaitu efisiensi institusi negara ( birokrasi), pemerataan infrastruktur, stabilitas makroekonomi, dan pemerataan kualitas pendidikan serta kesehatan. Jika selama ini banyak ahli di media yang berkoar untuk mencontoh apa yang telah dihasilkan oleh Jepang, Jerman, atau AS, maka itu adalah tahapan berikutnya, yaitu peningkatan kualitas pendidikan tinggi, efisiensi pasar, efisiensi pasar tenaga kerja, kesiapan untuk melakukan adopsi dan akulturasi (baca :pencurian) teknologi, serta ukuran pasar lokal ( untuk yang terakhir ini, Indonesia sangat potensial).

Seperti kata George Orwell, " Ignorance is Bliss", yup, bermimpi dan menancapkan target memang indah dan puitis, namun hidup nyatanya adalah prosa, bukan puisi. Ketika ditargetkan bahwa Indonesia akan "sejajar" dengan Brasil, Cina, dan India, bahkan mengalahkan AS dan Jepang di suatu masa, maka mari kita lihat detailnya, dimana posisi kita sekarang dan seberapa jauh posisi ini terhadap target yang akan kita raih. Saya suka ketika ada tokoh yang dengan optimis mengungkapkan optimisme Indonesia 2020 atau 2030 yang akan jadi raja dunia, namun saya kembali ragu karena yang dijadikan parameter adalah indikator ekonomi makro, lalu lupa menjelaskan proses- proses ekonomi mikro yang menunjang keberlangsungan aktivitas ekonomi jangka panjangnya, kali ini saya sepakat dengan Nassem Nicholas Thaleb, " Jangan percaya dengan peramal tren ekonomi, mereka pembual ".

Dari penjelasan Global Entrepreneurship Monitor saya bisa ambil kesimpulan, bahwa manusia adalah aset ekonomi terbesar suatu negara, dan kunci untuk membangun aset adalah pada kualitas pendidikan. Kekuatan ekonomi makro ditunjang oleh solidnya ekonomi mikro, yaitu perusahaan- perusahaan yang dikendalikan oleh manusia berpengetahuan.

Saya pribadi berharap kepada kawan- kawan pemenang atau nominator kompetisi bisnis anak muda semacam Shell LiveWire, Wirausaha Muda Mandiri, Telkom Indigo, dan macam- macam kompetisi wirausaha muda lain untuk tetap solid dan teguh membangun ide inovasi bisnis berkarakter khas, melakukan perbaikan berkelanjutan terus menerus (Continues Improvement- KAIZEN; Edward Deming), pertumbuhan berkelanjutan (Sustainable Growth; Januar Darwaman, PhD), dan berharap banyak beberapa dekade lagi (10 tahun lagi 2020, 20 tahun lagi 2030, mari kita hitung mundur) kemandirian ekonomi Indonesia menjadi terwujud riil, bukan ersatz lagi.

Kali ini saya mulai memahami nasehat kakek saya, " Alon alon waton kelakon, sing temen bakal tinemu (Pelan pelan asalkan terwujud, siapa yang bersungguh- sungguh akan menemukan kesuksesan)". Masih banyak kerja yang harus dilaksanakan, jika memang target kemandirian ekonomi tersebut mau dijadikan optimisme realistik, ya manjadda wa jada !

Sumber : http://politikana.com/baca/2010/01/29/ekonomi-makro-dan-entrepreneurship.html

Membangun Karakter dan Kemandirian Bangsa

Membangun Karakter dan Kemandirian Bangsa Buat halaman ini dalam format PDF Cetak halaman ini
Selasa, 19 Juni 2007

M. Hatta Rajasa
Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia

Pendahuluan
Pembangunan bangsa dan pembangunan karakter bangsa adalah dua istilah yang sering saling dipertautkan antara satu dengan lainnya. Hal ini sangat wajar karena artikulasi sebuah bangsa memang berbeda dengan sebuah benda fisik biasa, misalnya bangunan atau jembatan. Jika sebuah bangunan atau jembatan runtuh, maka keruntuhannya dapat tampak secara fisik, antara lain dengan berserakannya bagian bagian jembatan atau bangunan tersebut.

Namun hal tersebut berbeda dengan bangsa. Sebuah bangsa adalah kumpulan dari tata nilai (values). Sendi sendi yang menopang sebuah bangsa umumnya adalah berupa karakter dan mentalitas rakyatnya yang menjadi pondasi yang kukuh dari tata nilai bangsa tersebut. Keruntuhan sebuah bangsa umumnya ditandai dengan semakin lunturnya nilai nilai bangsa tersebut, walaupun secara fisik bangsa tersebut sebenarnya masih eksis.Â

Meskipun sudah bukan barang baru, namun harus diakui bahwa fenomena globalisasi adalah dinamika yang paling strategis dan membawa pengaruh dalam tata nilai dari berbagai bangsa termasuk bangsa Indonesia. Sebagian kalangan menganggapnya sebagai ancaman yang berpotensi untuk menggulung tata nilai dan tradisi bangsa kita dan menggantinya dengan tata nilai pragmatisme dan populerisme asing.

Di pihak lain, globalisasi adalah juga sebuah fenomena alami, sebuah fragmen dari perkembangan proses peradaban yang harus kita lalui bersama. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada makalah ini globalisasi akan dijadikan sebagai acuan untuk mengulas pembangunan karakter bangsa menuju pada kemandirian bangsa.

Dan sehubungan bahwa generasi muda adalah komponen bangsa yang paling rentan dalam proses amalgamasi tata nilai dan budaya, maka menjelang 100 tahun peringatan Hari Kebangkitan Nasional, secara khusus akan diberikan ulasan tentang peran kritis generasi muda dalam pembangunan dan pemberdayaan karakter kebangsaan yang positif, yang menunjang pada kemandirian bangsa di tengah terpaan arus globalisasi.

Pembangunan Bangsa yang Berkarakter
Pada prinsipnya memang membangun sebuah bangsa tidaklah cukup hanya dalam esensi fisik belaka. Perlu adanya suatu orientasi yang sedemikian sehingga esensi fisik tersebut berlanjut dalam suatu internalisasi untuk menuju pada pembangunan tata nilai atau sebaliknya pembangunan yang berorientasi pada tatanan fisik tersebut dijiwai oleh semangat peningkatan tata nilai sosio kemasyarakatan dan budaya, meskipun yang kedua ini umumnya lebih sulit dibandingkan dengan yang pertama.

Setidaknya ada 2 (dua) argumen penting menyangkut pembangunan yang bertata nilai yakni:

  • 1. Pembangunan yang bertata nilai merupakan esensi dari suatu pemahaman pembangunan yang sepenuhnya berorientasi pada manusia sebagai subyek pembangunan atau lazim dikenal dengan human oriented development. Tanpa adanya orientasi hal yang demikian, maka pembangunan hanya akan mencakup tataran fisik dan tanpa disertai adanya pembangunan budaya serta peningkatan standar nilai kehidupan manusianya.
  • 2. Pembangunan yang bertata nilai juga berarti jalur untuk dapat tercapainya suatu tata pemerintahan yang baik, atau good governance. Karena hanya melalui orientasi pembangunan yang semacam ini sajalah, maka dapat diharapkan akan terjadi interaksi positif antara pemerintah dan masyarakatnya untuk secara arif mengelola sumber daya alam maupun juga tentunya penataan sumber daya manusianya yang sedemikian sehingga tidak bernuansa eksploitasi, apalagi mengarah pada sejumlah bentuk eksploitasi yang tidak bertanggung jawab. Dengan cara ini, maka tidak saja pembangunan yang bertata nilai akan semakin meningkatkan kondusifitas interaksi antara pemerintah dan masyarakatnya akan tetapi juga semakin mempercepat proses pembentukan suatu masyarakat madani yang lebih demokratis.

Untuk lebih dapat memahami dalam konteks yang lebih praktikal, maka dalam makalah ini akan diulas tentang sejumlah hal terkait dengan arti dan makna pembinaan karakter bangsa, potensi potensi bangsa yang harus dikembangkan untuk mencapai kemandirian bangsa yang bertata nilai, dan tentunya juga peran kritis dari generasi muda didalamnya.

Arti dan Makna Pembinaan Karakter Bangsa
Mantan Perdana Menteri Malaysia, Datuk Sri Dr. Mahathir Muhammad pernah mengeluarkan sebuah pernyataan retorik tentang pembinaan karakter suatu bangsa yakni,

â€Å“Ketika suatu bangsa mulai membangun, maka yang pertama kali menjadi korban adalah kelembagaan keluarga berikut seluruh tatanan nilai kekeluargaan yang ada di dalamnyaâ€�?.

Pernyataan retorik di atas tentunya mengandung arti yang luas walaupun barangkali tidak terlalu paradoksal. Sebagian dari kita tentu memahami bahwa di negara-negara industri maju, memang umumnya fenomena hilangnya kohesivitas keluarga, sangat tampak dan sangat kentara, sejalan dengan semakin meningkatnya idiom â€Å“modernisasiâ€�? di negara-negara tersebut.

Sehingga pembangunan dan pembinaan karakter suatu bangsa menjadi suatu istilah yang semakin sering diungkapkan sekaligus di perlukan pemahamannya yang lebih baik, khususnya dalam menjadikan pembangunan fisik suatu bangsa sebagai salah satu instrumen dalam pembinaan karakter manusianya.

Aspek lain yang tidak kalah pentingnya adalah pengaruh dari kemajuan kapasitas berpikir manusia, yang umumnya diartikulasikan dalam bentuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Terutama dalam hal ini adalah teknologi informasi dan telekomunikasi. Kedua jenis teknologi ini secara sangat radikal telah mengakselerasi proses interaksi antar manusia dari berbagai bangsa dan memberikan dampak adanya amalgamasi berbagai kepentingan lintas bangsa atau lazim dikenal dengan globalisasi. Salah satu unsur yang sejatinya sudah ada dalam proses amalgamasi kepentingan antar manusia dari jaman dahulu kala adalah daya saing atau competitiveness.

Menurut Michael Porter (1999), dalam bukunya Daya Saing sebuah Bangsa (The Competitiveness of A Nation), pemahaman daya saing sebagai salah satu keunggulan yang dimiliki suatu entitas dibandingkan dengan entitas lainnya, bukanlah baru muncul di era abad ke-21 sekarang ini.

Gambar 1. Model rantai nilai Daya Saing
(dimodifikasi dari Porter, 1999)

hatta_gb1.jpgÂ


Peran daya saing dalam menjadikan suatu entitas lebih unggul dibandingkan lainnya sebenarnya bukan hal baru, akan tetapi sudah menjadi suatu keniscayaan bahkan semanjak masa lampau. Daya saing di sini tentunya harus dipahami dalam arti yang sangat luas. Peran teknologi informasi dan telekomunikasi, menurut Porter, hanya sebatas mempercepat sekaligus memperbesar peran daya saing dalam menentukan keunggulan suatu entitas dibandingkan dengan entitas lainnya.

Keunggulan yang dimaksud di atas, nantinya dapat berkembang ke berbagai pengertian maupun penerapan, bisa berarti keunggulan ekonomi, keunggulan politik, keunggulan militer dan lain-lain. Daya saing pada esensinya dapat dipandang sebagai sebuah rantai nilai proses yang dapat dikendalikan dengan proses pembelajaran kontinyu atau continuous learning (diberikan pada gambar 1). Dalam alur proses rantai nilai tersebut terdapat dua hal yang sangat prinsipil yaitu (gambar 1):

  • 1. Pertama: peran daya saing dalam menentukan keunggulan hanya dapat dijamin, jika dan hanya jika, daya saing tersebut bersifat adaptif. Yakni daya saing tersebut harus dikembangkan dan disesuaikan seiring dengan adanya perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingnya.

    Untuk dapat mencapai hal ini, maka setiap individu dalam entitas yang bersangkutan, entitas di sini dapat berupa sebuah organisasi, perusahaan ataupun bahkan sebuah negara, perlu melakukan proses pembelajaran yang terus menerus (atau sering disebut dengan continuous learning) dan selanjutnya juga melakukan proses internalisasi dari kapasitas pengetahuan yang didapat melalui pembelajaran tersebut. Hal yang terakhir ini menuntut adanya suatu perubahan sikap atau mental model dari setiap individu setelah melalui suatu proses pembelajaran tertentu.
  • 2. Kedua adalah bahwasanya daya saing perlu diarahkan pengembangan untuk adanya suatu pembinaan total dari kohesivitas antar komponen bangsa yang menuju pada keseimbangan harmonis antara suatu entitas dengan entitas lainnya.

    Hal yang kedua ini menuntut adanya suatu pembinaan karakter yang sedemikian, sehingga pengembangan daya saing tidak lantas diarahkan pada pola pikir yang bersifat predatorik, yakni saling mematikan dan membinasakan komponen bangsa lainnya, akan tetapi harus pada konteks adanya komplementasi sehingga peningkatan daya saing nantinya akan justru mengarah pada pencapaian kemajuan bangsa secara kolektif. Atau dengan kata lain pembinaan karakter bangsa harus mencetak suatu mentalitas daya saing bangsa yang bersifat komplementer dan non predatorik.

Berdasarkan dari dua hal yang sangat prinsipil di atas, maka arti dan makna pembinaan karakter bangsa di era yang sarat dengan daya saing sekarang ini adalah menyangkut tiga hal pokok yaitu:

  • 1. Artikulasi karakter bangsa adalah mengacu pada tingkat peningkatan kapasitas pengetahuan dari bangsa tersebut untuk terus melakukan pembelajaran agar semakin meningkat daya saingnya.
  • 2. Adapun pembinaan karakter bangsa akan diarahkan agar supaya kapasitas pengetahuan yang terbangun akan meningkatkan daya saing, dengan kondisi dimana daya saing tersebut akan memungkinkan adanya kemajuan kolektif atau kemajuan bersama, bukan kemajuan yang bersifat predatorik atau saling mematikan antara satu dengan lainnya.
  • 3. Sejalan dengan hal tersebut, maka pemaknaan dari karakter positif bangsa harusnya diarahkan untuk mencapai dua hal pokok di atas.

    Karakter positif bangsa yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia, antara lain adalah karakter pejuang. Dalam kaitan ini masyarakat internasional pun mengakui bahwa dua bangsa pejuang yang berhasil merebut kemerdekaannya dengan darah di era pasca Perang Dunia ke-2 hanya dua yakni bangsa Indonesia dan Vietnam. Selanjutnya masih ada lagi karakter pemberani dan sejumlah karakter positif lainnya. Seluruhnya perlu dimaknai dalam konteks peningkatan daya saing dan bersifat komplemen (atau non predatorik).

Dalam pemahaman yang bersifat artikulatif umumnya arti dan makna pembinaan karakter bangsa sudah bukan merupakan masalah lagi. Namun pada kenyataannya kita masih didera oleh sejumlah permasalahan dalam pembinaan karakter bahkan yang paling kritis justru yang menyangkut masalah daya saing, sebuah parameter yang semakin meningkat nilai pentingnya di era global sekarang ini.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada paragraf berikut akan diulas secara singkat tentang permasalahan umum yang dihadapi dalam pembinaan karakter bangsa.

Permasalahan Umum dalam Pembinaan Karakter Bangsa
Sebagaimana telah disinggung pada paragraf 2 di atas, bahwasanya pencapaian daya saing yang adaptif menuntut adanya pembelajaran yang terus menerus dan pembentukan mental model sebagai kelanjutan dari internalisasi pembelajaran yang dilakukan. Adapun esensi yang paling utama untuk dapat mewujudkan hal tersebut dalam konteks yang praktis adalah adanya perubahan (changes) baik bagi individu maupun kelompok/kumpulan masyarakat atau seluruh bangsa ini pada umumnya.

Perubahan atau changes inilah yang merupakan kunci dari adaptifitas daya saing. Pada gambar 2 diberikan suatu formasi ideal dari proses pembinaan karakter suatu bangsa.

Gambar 2. Tatanan Ideal dalam Proses
Pembinaan Karakter

hatta_gb2.jpg


Â

Gambar 3. Kondisi faktual yang terjadi, baik di Indonesia, maupun di beberapa negara lain. Elemen Perubahan umumnya masih belum menjadi bagian integral dari proses pembinaan karakter.

hatta_gb3.jpg


Â

Umumnya tanpa adanya fitur adaptifitas ini, maka daya saing akan bersifat kaku dan statis, dan daya saing yang demikian pada akhirnya hanya akan menjadi kebanggaan historika masa lampau serta tidak memiliki esensi sama sekali di era masa depan yang menuntut adanya bentuk daya saing yang baru. Gejala ini pun tampaknya dapat dirasakan di kalangan masyarakat kita, meskipun hal ini juga menggejala di negara-negara lain, yang cenderung mengisolasi artikulasi daya saing dalam pemahaman yang bersifat konstan dari perspektif historis perjalanan bangsa tersebut.

Barangkali satu contoh menarik yang dapat dijadikan pelajaran dalam konteks ini adalah perjalanan hidup bangsa Korea (Selatan). Bangsa ini, kalau berdasarkan perspektif historis, tidak atau belum pernah masuk kategori bangsa yang dominan di wilayah regionalnya. Sejarah mencatat bahwa Korea umumnya selalu di bawah bayang-bayang dua negara tetangganya yang sangat kuat, yakni Kekaisaran Jepang di Selatan dan (dahulu Kekaisaran) Cina di Timur.

Namun melalui suatu proses internalisasi pengetahuan yang berjalan secara konsisten dan terutama dengan adanya semangat untuk melakukan perubahan secara signifikan, Korea (khususnya Selatan) saat ini telah tumbuh menjadi kekuatan yang paling diperhitungkan di kancah regional Asia Timur bahkan dunia. Pakar reformasi Korea Selatan, Linsu Kim (2002) pernah mengatakan bahwa pembelajaran secara kontinyu atau continuous learning tidak akan memberikan pengaruh apa-apa, tanpa disertai adanya kemampuan untuk berubah atau ability to change. Bahkan menurutnya, proses pembelajaran barulah menemukan maknanya setelah terjadinya proses perubahan pasca proses pembelajaran tersebut, khususnya dalam konteks pola pikir, pola sikap dan perilaku.

Rantai nilai pembelajaran yang terdiri dari elemen, peningkatan kapasitas pengetahuan, internalisasi pengetahuan dan selanjutnya kesanggupan untuk melakukan perubahan tampaknya masih belum dapat diimplementasikan secara lengkap di umumnya kalangan masyarakat kita (gambar 3). Gambaran umum yang terjadi adalah kemampuan kita, tampaknya baru sebatas pada dua elemen yang pertama yakni peningkatan kapasitas pengetahuan dan internalisasi pengatahuan. Sedangkan elemen yang ketiga tampaknya masih diaplikasikan dalam dimensi yang sangat terbatas (gambar 3).

Sehingga tidaklah terlalu mengherankan kalau kita mendengar atau mengetahui bahwasanya sudah terlalu banyak contoh dan kasus dimana segenap idea, pemikiran dan konsepsi-konsepsi yang telah dirumuskan dan dirancang dengan baik, bahkan melibatkan banyak orang yang pakar di bidangnya masing masing pada akhirnya hanya menjadi sebatas tata wacana atau kumpulan buku-buku dan referensi tanpa adanya upaya kongkrit untuk menginternalisasikannya dan untuk selanjutnya menjadi landasan dalam proses perubahan sikap maupun perilaku, baik bagi individu maupun masyarakat dan bangsa.

Dari kenyataan ini maka dapat dideduksi bahwa permasalahan umum dalam konteks pembinaan karakter bangsa adalah mencakup upaya-upaya untuk mencapai suatu proses internalisasi pengetahuan yang kemudian dapat berlanjut sampai dengan terjadinya suatu pergantian atau changes tersebut.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka agenda terpenting dalam konteks pembinaan karakter bangsa adalah menyangkut adanya reformasi kolektif dari segenap komponen bangsa ini untuk sanggup melakukan pergantian atau changes setelah menjalani setiap proses pembelajaran.

Karena sifatnya yang kolektif, maka tentunya hal tersebut tidak mungkin menjadi tugas atau kewajiban dari pemerintah saja, akan tetapi juga menyangkut tugas dan kewajiban dari seluruh masyarakat. Meskipun demikian, pemerintah, yang dalam hal ini tentunya lebih banyak dari kompartemen pendidikan dan komunikasi harus sanggup memberikan fasilitasi yang paling ideal dalam mengakselerasi proses pemahaman kolektif, bahwasanya perubahan atau changes dari setiap adanya peningkatan kapasitas pengetahuan yang diperoleh melalui proses pembelajaran apapun juga adalah hal yang sama pentingnya, atau bahkan dalam beberapa hal lebih penting, dibandingkan dengan aktifitas peningkatan kapasitas pengetahuan itu sendiri.

Pada paragraf berikut akan diulas secara tentang potensi bangsa yang seharusnya dapat dijadikan sebagai unsur penting untuk membangun kemandirian bangsa.

Unsur Pokok Pembangun Kemandirian Bangsa

The core of any army is its soldiers, no matter how sophisticated its equipment, its performance is solely dependent on its soldiers.
Douglas MacArthur, General, US Army, 1945

Penggalan kalimat di atas diambil dari ungkapan salah seorang komandan militer yang cukup terkenal, yaitu Jendral MacArthur. Seorang Jendral AS yang pernah menjadi panglima mandala Pasukan Sekutu di Pasifik pada era Perang Dunia ke-2 (1941-1945) dan selanjutnya menjadi panglima mandala Pasukan Gabungan PBB semasa Perang Korea (1951-1955). Penggalan kalimat di atas cukup menarik, karena memberikan esensi pada peran sumber daya manusia sebagai unsur yang paling kritis dalam setiap proses pengembangan suatu entitas tertentu (dalam kasus di atas tentunya entitas militer yakni Angkatan Bersenjata). Namun demikian hal di atas berlaku pada hampir seluruh aspek, mulai dari organisasi yang sangat kecil seperti klub olahraga ringan sampai dengan sebuah negara.

Sebenarnya apa yang diungkapkan oleh Jend. MacArthur di atas bukanlah hal yang baru. Lebih dari seabad sebelumnya (1815), kaisar Perancis yang juga Jendral besar dari Eropa, Napoleon Bonaparte pernah mengatakan, â€Å“Une armée marche à son estomacâ€�? atau â€Å“Angkatan Bersenjata berjalan dengan perutnyaâ€�?. Meskipun oleh banyak pihak penggalan kalimat ini diartikan dalam konteks pentingnya unsur logistik dalam suatu operasi militer, akan tetapi sejatinya penggalan kalimat ini ikut menekankan bahwa faktor prajurit (atau esensinya adalah faktor manusia) merupakan komponen terpenting dalam setiap proses atau rantai nilai apapun juga.

Meskipun sumber daya manusia merupakan suatu hal yang sangat krusial, namun terkadang kalau sudah berbicara mengenai hal ini banyak kalangan masyarakat yang menganggapnya sebagai hal yang terlalu normatif. Beberapa di antaranya malah menganggap bahwa pada jaman pemerintahan sebelumnya pernah ada masa dimana hampir setiap pejabat negara menekankan tentang pentingnya SDM namun pada akhirnya refleksi kemajuan yang dicapai juga tidak sebesar sebagaimana yang diharapkan.

Terlepas dari semua hal tersebut, tetap sumber daya manusia adalah potensi bangsa yang paling strategis yang harus dimobilisir dan dikembangkan. Bahkan Ralph S. Larsen (2004), CEO dari Johnson & Johnson, pernah mengatakan bahwa, tingkat kedewasaan suatu organisasi ditentukan dari persepsinya terhadap sumber daya manusia yang dimilikinya. Tataran tertinggi adalah ketika organisasi yang bersangkutan telah sanggup menganggap bahwa sumber daya manusia adalah aset dan bahkan aset yang paling menentukan dari kelangsungan hidup organisasi tersebut. Sebaliknya, tataran terendah adalah ketika organisasi masih menganggap bahwa sumber daya manusia tidak lebih dari komponen bahan baku yang menjadi obyek untuk dieksploitasi begitu saja.

Permasalahan utama tentunya adalah mendorong agar pengembangan sumber daya manusia ini sanggup menghantarkan suatu bangsa mencapai tingkat kemandirian yang berkesinambungan. Dan sebagaimana telah disinggung pada paragraf sebelumnya, era globalisasi menuntut adanya parameter daya saing sebagai satu satunya hal yang penting untuk menjamin suatu kemandirian, lebih lanjut, pembinaan karakter yang menuju pada mentalitas daya saing sendiri menuntut adanya sejumlah prasyarat pokok yang harus dijadikan acuan dalam setiap proses, atau yang lazim dikenal dengan rantai nilai.

Sejalan dengan hal tersebut, maka unsur pokok pembangun kemandirian bangsa terfokus pada tiga aspek penting yaitu:

  • 1. Peran kritis sumber daya manusia sebagai sumber daya yang terus terbarukan,
  • 2. Peningkatan daya saing dari sumber daya manusia tersebut, sebagai jaminan untuk adanya kemandirian bangsa yang berkesinambungan,
  • 3. Pemahaman bahwasanya mencetak mentalitas daya saing membutuhkan suatu rantai nilai dengan tatanan dan urutan tertentu. Serta keberhasilannyapun tergantung dari sampai sejauh mana tingkat pemenuhan kriteria dan persyaratan tersebut.

Ketiga aspek penting di atas perlu mendapatkan suatu pelaksana atau agents yang akan mengimplementasikannya di lapangan dalam suatu rangkaian tindakan nyata. Dan agents tersebut tentunya adalah generasi muda yang dimiliki oleh bangsa, karena dalam keadaan dimana mereka umumnya adalah masih berusia produktif maka diharapkan mereka dapat memiliki kemampuan tanggap khususnya dalam mengakselerasi proses internalisasi pengetahuan dan yang terutama adalah menjadi motor penggerak perubahan atau generator of change.

Tanpa adanya hal tersebut, maka selamanya rantai nilai dari proses pembangunan karakter dalam bentuk apapun tidak akan pernah bergeser dari tata wacana dan selamanya bangsa ini akan terus berhadapan dengan berbagai masalah dan apabila bangsa ini lambat dalam bereaksi maka akan berpotensi untuk semakin rendahnya daya saing bangsa di jangka panjang serta semakin menurunnya daya adaptifitas bangsa dalam mensikapi dinamika perkembangan global dan pada akhirnya akan menjadikan bangsa ini sulit untuk dapat mencapai tatanan kehidupan yang bermartabat. Pada paragraf berikut akan diulas tentang peran generasi muda dalam meng-engineer atau merekayasa proses pengembangan daya saing yang diperlukan oleh bangsa ini menuju pada kemandirian.

Peran Generasi Muda dalam Pembangunan Bangsa Mandiri
Secara normatif, dan sebagaimana telah hampir dapat diterima oleh umumnya kita sekalian, pembentukan karakter bangsa merupakan hal yang amat penting bagi generasi muda dan bahkan menentukan nasib bangsa di masa depan.

Selanjutnya, kita juga telah sering mendengar bahwasanya generasi muda perlu memiliki mental kepribadian yang kuat, bersemangat, ulet, pantang menyerah, disiplin, inovatif dan bekerja keras, untuk dapat menjadikan bangsanya menjadi bangsa yang memiliki daya saing tinggi, sehingga dapat berada sejajar dengan bangsa bangsa lain.

Namun pada kenyataannya, pernyataan di atas sering hanya sebatas pada retorika. Kondisi yang kita hadapi sekarang menunjukkan bahwa era globalisasi telah menempatkan generasi muda Indonesia pada posisi yang berada di tengah-tengah derasnya arus informasi yang sedemikian bebas, sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi.

Sebagai akibatnya, maka nilai-nilai asing secara disadari ataupun tidak disadari telah memberi pengaruh langsung maupun tidak langsung kepada generasi muda. Walaupun masih belum ada bukti empiris secara langsung bahwa nilai nilai asing tersebut seluruhnya memberikan dampak negatif bagi generasi muda, akan tetapi jika tidak dilakukan upaya antisipasi apapun, bukan tidak mungkin, di masa depan nanti, bangsa ini akan menjadi bangsa yang berpendirian lemah serta sangat mudah hanyut oleh hiruk-pikuknya dinamika globalisasi; dan pada akhirnya akan mudah dikendalikan oleh bangsa lain.

Gambaran umum, keadaan di atas akan memberikan pengaruh pada rasa kebangsaan (nasionalisme) di kalangan generasi muda. Meskipun belum nampak secara jelas, akan tetapi harus diakui bahwa saat ini telah mulai ada gejala dari menurunnya semangat dan rasa kebangsaan atau nasionalisme di kalangan generasi muda yang ditunjukkan dari semakin berkurangnya pemahaman generasi muda terhadap sejarah dan nilai nilai budaya bangsanya sendiri.

Upaya strategis yang harus dilakukan oleh generasi muda dalam menghadapi hal tersebut adalah sebuah koordinasi gerakan revitalisasi kebangsaan yang diarahkan terutama pada penguatan ketahanan masyarakat dan bangsa terhadap segenap upaya nihilisasi dari pihak luar terhadap nilai-nilai budaya bangsa.

Adapun generasi muda dalam melaksanakan koordinasi gerakan tersebut memiliki 3 (tiga) peran penting yakni:

  • 1. Sebagai pembangun-kembali karakter bangsa (character builder). Di tengah tengah derasnya arus globalisasi, kemudian ditambah dengan sejumlah erosi karakter positif bangsa sementara adanya gejala amplifikasi atau penguatan mentalitas negatif, seperti malas, koruptif dan sebagainya, maka peran generasi muda adalah membangun kembali karakter positif bangsa. Peran ini tentunya sangat berat, namun esensinya adalah adanya kemauan keras dan komitmen dari generasi muda untuk menjunjung nilai-nilai moral di atas kepentingan kepentingan sesaat sekaligus upaya kolektif untuk menginternalisasikannya pada kegiatan dan aktifitasnya sehari-hari.
  • 2. Sebagai pemberdaya karakter (character enabler). Pembangunan kembali karakter bangsa tentunya tidak akan cukup, jika tidak dilakukan pemberdayaan secara terus menerus. Sehingga generasi muda juga dituntut untuk mengambil peran sebagai pemberdaya karakter atau character enabler. Bentuk praktisnya adalah kemauan dan hasrat yang kuat dari generasi muda untuk menjadi role model dari pengembangan karakter bangsa yang positif. Peran ini pun juga tidak kalah beratnya dengan peran yang pertama, karena selain kemauan kuat dan kesadaran kolektif dengan kohesivitas tinggi, masih dibutuhkan adanya kekuatan untuk terlibat dalam suatu ajang konflik etika dengan entitas lain di masyarakat maupun entitas asing.
  • 3. Sebagai perekayasa karakter (character engineer) sejalan dengan perlunya adaptifitas daya saing untuk memperkuat ketahanan bangsa. Peran yang terakhir ini menuntut generasi muda untuk terus melakukan pembelajaran. Harus diakui bahwa pengembangan karakter positif bangsa, bagaimanapun juga, menuntut adanya modifikasi dan rekayasa yang tepat disesuaikan dengan perkembangan jaman. Sebagai contoh karakter pejuang dan patriotisme tentunya tidak harus diartikulasikan dalam konteks fisik, akan tetapi dapat dalam konteks lainnya yang bersifat non-fisik. Peran generasi muda dalam hal ini sangat diharapkan oleh bangsa, karena di tangan mereka-lah proses pembelajaran adaptif dapat berlangsung dalam kondisi yang paling produktif.

Hal yang berat bagi para generasi muda adalah untuk memainkan ketiga peran tersebut secara simultan dan interaktif. Memang masih diperlukan adanya peran pemerintah dan komponen bangsa lainnya dalam memfasilitasi aktualisasi peran tersebut oleh generasi muda. Namun demikian konsentrasi peran tetap pada generasi muda. Tanpa adanya peran aktif mereka dalam gerakan revitalisasi kebangsaan yang dimaksud di atas, maka bukan tidak mungkin penggerusan nilai-nilai budaya bangsa akan berjalan terus secara sistematis dan pada akhirnya bangsa ini akan semakin kehilangan integritas dan jati-dirinya.

Penutup
Harus diakui bahwa sorotan terhadap kemandirian bangsa saat ini telah semakin mengemuka. Memang benar, bahwa sebagian dari sorotan tersebut dapat dijawab dengan argumen fenomena globalisasi. Sebuah kondisi dimana mau tidak mau atau suka tidak suka, kita harus memberikan peluang dan akses yang sama kepada segala pihak, termasuk pihak asing, untuk ikut terlibat dalam berbagai percaturan nasional maupun regional di berbagai bidang, berikut segala konsekuensinya.

Menghadapi kondisi tersebut, maka satu satunya demarkasi atau garis pembatas yang tegas yang dapat kita tegakkan bersama adalah daya saing bangsa (atau national competitiveness), tentunya daya saing di sini dalam arti yang luas. Mencapai suatu daya saing yang kuat membutuhkan upaya besar dan peran aktif segenap komponen masyarakat. Salah satu fitur yang berperan kritis dalam upaya besar tersebut adalah pembinaan karakter bangsa, khususnya karakter positif bangsa yang harus terus ditumbuh-kembangkan melalui proses pembelajaran yang kontinyu sedemikian sehingga memperkuat kemampuan adaptif dari daya saing bangsa.

Dalam upaya untuk mengaktualisasikan hal tersebut, maka dituntut peran penting dari generasi muda, khususnya perannya sebagai character enabler, character builders dan character engineer. Meskipun untuk menjalankan ketiga peran tersebut secara efektif, generasi muda nantinya masih memerlukan dukungan dari pemerintah maupun komponen bangsa lainnya, namun esensi utamanya tetap pada peran generasi muda.

Hal tersebut selain karena generasi muda masih berada dalam puncak produktifitasnya, juga karena generasi muda adalah komponen bangsa yang paling strategis posisinya dalam memainkan proses transformasi karakter dan tata nilai di tengah-tengah derasnya liberalisasi informasi era globalisasi.


Sumber : http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=529&Itemid=116

BUDAYA LOKAL SEBUAH REKONSTRUKSI MODEL KONTRIBUSI PEMUDA UNTUK PEMBANGUNAN NUSANTARA

BUDAYA LOKAL SEBUAH REKONSTRUKSI MODEL KONTRIBUSI PEMUDA UNTUK PEMBANGUNAN NUSANTARA

Apa dan bagaimana bentuk partisipasi pemuda dalam mengangkat potensi lokal berbagai bidang pembangunan? Jawabnya tidak lain adalah “belajar”. Belajar di dalam proses pendidikan yang baik dan benar.
Bagaiman proses pendidikan yang baik dan benar? Tidak lain adalah proses pendidikan yang tidak tercerabut dari akar budaya bangsanya.

Dialog tentang Rekonstruksi Model Kontribusi Pemuda untuk Pembangunan Nusantara tidak mungkin dilepas dari proses penyemaian “tunas-tunas” bangsa sebagai generasi kepemimpinan era kebangkitan Nasional Kedua. Penyemaian tunas-tunas bangsa melalui proses pendidikan yang baik dan benar tentu berkaitan sangat erat dengan pembentukan mindset dan moral bangsa. Dengan kata lain pelaksanaan “nation & character Building” jelas melalui proses pendidikan.

Era kebangkitan nasional kedua bisa diasumsikan saat tercapainya Visi Indonesia 2030, di mana anak didik Indonesia yang sekarang telah menjadi pemimpin bangsa dalam berbagai bidang kehidupan. Visi Indonesia 2030 adalah
(1) Indonesia masuk dalam lima besar kekuatan ekonomi dunia dengan pendapatan perkapita USD 18,000;
(2) Pengelolaan SDA yang berkelanjutan;
(3) Kualitas hidup modern yang merata; dan
(4) Sedikitnya 30 perusahaan masuk dalam daftar 500 perusahaan besar dunia.

Berangkat dari Visi Indonesia tersebut serta dalam rangka memfollow up Konggres 100 tahun Kebangkitan Nasional Yogyakarta pada tanggal 15 – 18 Mei 2008 yang lalu, maka Seminar dengan tema Rekonstruksi Model Kontribusi Pemuda untuk Pembangunan Nusantara ini diharapkan mampu menyerap, memaknai nilai-nilai kebangsaan dan kebangunan serta menyalakan api semangat kebangkitan abad ke-2 sebagai ruh kepemimpinan masa depan.
Bapak, Ibu dan seluruh lapisan pemuda nusantara yang saya cintai,
Kita sebagai masyarakat Indonesia, terlebih lagi Pemuda haruslah memiliki kemampuan melihat peluang-peluang yang potensial atau penting yang berada tepat di hadapan kita.

Pemuda seharusnya bukan hanya sekedar dapat “meramal” masa depan, melainkan dapat pula menciptakannya dengan melakukan tindakan sekarang. Dengan kata lain pemuda harus memiliki visi. Sebagaimana yang ditulis oleh James C. Collins & Jerri I. Porras dalam “Purpose, Mission, and Vision”: “Memiliki visi bukan berarti berjalan di awan, tetapi membuka mata, pikiran dan hati dengan kepercayaan diri untuk mengikuti pandangan dan intuisi terhadap apa yang dapat atau harus dilakukan segera”.

Visi Indonesia 2030 adalah suatu perkiraan situasi masa depan yang direncanakan dalam kurun waktu tersebut berdasarkan perhitungan kemampuan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Sehingga sudah selayaknyalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pemuda dapat menyelaraskan visi bersama tersebut hingga ketahapan pemahaman, bahwa visi bersama tersebut bukan hanya sekedar mimpi, karena mimpi akan berakhir saat mereka terjaga dari tidurnya. Tetapi visi harus berkesinambungan dengan implementasi dan agenda aksi.

Berkorelasi dengan itu, maka pendidikan menempati posisi yang sangat strategis. Jalan utama untuk mengembalikan martabat dan derajat bangsa tidak lain adalah melalui pendidikan. Selaras dengan apa yang pernah dikatakan oleh Ikujiro Nonaka mantan direktur UNESCO bahwa; in a situation where the only certainty in uncertainty, the one sure source of lasting competitive advantage is education.

Pada hakikatnya pendidikan adalah usaha orang tua atau generasi tua untuk mempersiapkan anak atau generasi muda agar mampu hidup secara mandiri dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya dengan sebaik-baiknya. Orang tua atau generasi tua memiliki kepentingan untuk mewariskan nilai-nilai dan norma-norma hidup dan kehidupan kepada penerusnya. Demikian kata Ki Hajar Dewantara …

…mendidik ialah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

Selaras dengan itu, John Dewey seorang filosof pendidikan berkebangsaan Amerika mengatakan bahwa “pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia”.

Jadi maksud dari tujuan pendidikan adalah agar generasi muda sebagai penerus generasi tua dapat menghayati, memahami dan mengamalkan nilai-nilai atau norma-norma tersebut dengan cara mewariskan segala pengalaman, pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang melatar belakangi nilai-nilai dan norma-norma hidup dan kehidupan.

Bapak, Ibu dan Seluruh rekan Pemuda Nusantara, Seperti yang kita ketahui bersama bahwa perkembangan ilmu dan teknologi telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Kemajuan di bidang teknologi ini telah mengakibatkan perubahan-perubahan yang sangat fantastis, drastis dan signifikan dalam kehidupan umat manusia di hampir segala aspek kehidupan.

Penyingkapan-penyingkapan rahasia alam oleh ilmu pengetahuan dan teknologi telah memungkinkan manusia untuk mengeksploitasinya. Rasa ketergantungan manusia tehadap alam seolah telah dapat diatasi, bahkan manusia telah berhasil menguasai alam guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, bahkan lebih jauh manusia pun telah mampu untuk mengatur dan merekayasa alam dan pola sosial budayanya yang sedemikian rupa sehingga manusia mampu menciptakan “sorga-sorga” dunia dengan lingkungan yang nyaman, aman dan menyenangkan.

Usaha yang dilakukan oleh manusia tersebut adalah salah satu tujuan hidup manusia di dunia. Oleh karena itu sistem pendidikan harus mengarah kepada usaha penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena dengan cara itulah manusia dapat mewujudkan kehidupan surgawi di dunia ini. Sayangnya, pada saat ini pengusaan ilmu pengetahuan dan teknologi modern masih terbatas pada negara-negara maju saja. Ini artinya bahwa bangsa-bangsa maju tersebut dapat menguasai dan mengendalikan kehidupan bangsa-bangsa lain di dunia ini, baik secara ekonomis, politis, maupun sosial budaya dan kemasyarakatan, sementara di sisi lain bahwa bangsa-bangsa yang tidak mampu untuk mengembangkan potensi akan tetap menggantungkan hidupnya terhadap bangsa-bangsa maju. Tidak mengherankan apabila eksploitasi dan penjajahan model baru pun tidak dapat dihindari oleh bangsa-bangsa yang masih terkebelakang.

Untuk menghindari sifat ketergantungan bangsa-bangsa terkebelakang, tidak lain adalah mengusai ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Artinya, proses pendidikan tidak boleh tidak harus diarahkan ke sena. Memang untuk mewujudkan proses pendidikan seperti itu tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa adanya dukungan yang menyeluruh, baik dari segi sumber daya insani, alam maupun dana yang besar. Dalam kenyataannya, negara-negara yang belum berkembang atau sedang berkembang belum mampu untuk mengembangkan sistem pendidikan yang demikian, sehingga kemampuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran hidup warga negaranya juga sangat terbatas.

Pemuda Nusantara yang saya cintai, John Naisbitt dan Patricia Aburdane, dalam Megatrend 2000 mengatakan bahwa ketika kemajuan kehidupan umat manusia yang begitu pesat yang ditandai dengan perkembangan ilmu pegetahuan dan teknologi yang mengaburkan semua hal – membuat dunia seperti kehilangan sekat – hanya satu yang tersisa sebagai alat pijakan dan identitas manusia, yaitu kebudayaan selain agama. Mengapa kebudayaan? Karena dalam kebudayaan terdapat seperangkat sistem nilai yang mengarah pada proses menemukan diri. Dan apabila orang menemukan diri, maka ia akan dapat memahami negeri, atau lebih jauh, akan menemukan Tuhan yang Maha Tinggi.

Perkuatan budaya lokal merupakan satu jawaban untuk mengantisipasi keterpurukan bangsa Indonesia dewasa ini. Nilai-nilai luhur bangsa, kearifan lokal/indigenous knowledge adalah garda terakhir bagi keberlangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia. Untuk itu perlu menumbuhkan kembali semangat perjuangan dan cita-cita kebangsaan yang didasarkan pada terciptanya transformasi kebudayaan yang berwatak kerakyatan sejak dini kepada generasi penerus:

1. Bagaimana memperbaharui kembali gagasan bangsa sebagai rumah bersama, sekaligus rumah perjuangan hidup bersama yang dipenuhi solidaritas-keadilan-kemanusiaan
2. Bagaimana memulihkan kebudayaan sebagai reservoir sekaligus bahasa dialektika peradaban dan makna kehidupan
3. Bagaimana menjadikan rakyat kembali berperan pada tata politik, tata ekonomi dan tata kebudayaan kita, Republik Indonesia.

Kecendrungan untuk kembali ke kebudayaan bukanlah sesuatu yang baru, dewasa ini, negara-negara maju, apakah itu Amerika, Jepang, Cina dan negara-negara Eropa mulai kembali ke rumah kebudayaan mereka masing-masing. Ini disebabkan ternyata di depan mereka terbentang padang yang luas dan hutan yang begitu liar. Sebuah kenyataan bahwa kemajuan yang dicapai ternyata memangsa anak-anak mereka dari sisi spiritual. Amerika telah mewajibkan generasi penerusnya mendalami kebudayaan, Cina kembali menghayati Kong Fu Tse (Confucius), Jepang membolak-balik ajaran Bushido dan Zen Budhis. Nampaknya mereka mulai memahami dan merasakan apa yang pernah ditulis oleh Matthew Arnold bahwa kebudayaan merupakan media yang mampu menetralisir, atau paling tidak meredakan eksistensi kehidupan manusia modern yang sangat agresif, kejam dan berbau dagang.

Selaras dengan itu, William Butler Yeats, seorang pemenang Nobel sastra dari Irlandia yang menulis tentang Negeri yang ideal adalah sebuah negeri yang di dalamnya terdapat nyanyian, puisi, dan balada pada satu sisi, dan sistem pemerintahan yang baik pada sisi lain. Dengan kata lain bahwa sebuah negeri yang menafikkan kebudayaan, akan menjadi sebuah negeri yang malang, meski semaju apa pun capaian yang telah diraih. Keseimbangan antara material dan spiritual adalah jalan yang mutlak yang harus dilalui, khususnya bila tidak ingin semua hal yang sudah dibangun dengan susah payah menjadi sesuatu yang kehilangan makna.

Para Generasi Muda yang saya banggakan, Saat ini kita membutuhkan pemimpin yang tepat. Pemimpin yang bukan hanya sekedar figur, tetapi pemimpin yang memiliki kemampuan leadership. Leadership artinya adalah action. Kisah Andrea, seorang murid kesayangan Aristoteles pernah berteriak: “Alangkah sedihnya tanah ini, karena Ia butuh pahlawan!”. Jangan sampai pula, teriakan serupa muncul kembali di tanah air kita.

Untuk itu maka, reformasi bidang pendidikan yang dilaksanakan harus mampu melahirkan pemimpin yang mampu membuat keputusan politik yang benar. Artinya, keputusan yang relevan dengan persoalan bangsa. Di samping itu, reformasi pendidikan harus bisa memberikan kemampuan kepada generasi muda untuk memahami dan menghadapi zamannya secara cerdas dan lincah.

Menurut Mochtar Buchori, ada empat langkah dasar yang diperlukan agar kita tidak mengulangi kesalahan masa lalu.

Pertama, pemikiran tentang pendidikan tidak boleh diceraikan dari pemikiran tentang masalah politik. Tradisi pemisahan seperti ini telah menghasilkan tenaga pendidik yang tidak saja buta politik, tetapi menjadi alergi, bahkan takut kepada politik.

Kedua, sekolah harus mengajarkan kepada murid kecakapan untuk menangkap berbagai jenis makna. Jadi, sekolah tidak hanya mengajarkan cara menghimpun pengetahuan tanpa pemahaman yang benar dan penuh.

Ketiga, pemikiran tentang pendidikan harus dilakukan secara antisipatoris. Jangkauan waktu antisipasi tentang pendidikan harus jauh ke depan sehingga pendidikan bisa membekali anak didik dengan pengetahuan, nilai, serta keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya.

Keempat, perlunya pendidikan kewarganegaraan untuk menanamkan kesadaran demokrasi. Pendidikan kewarganegaraan ini harus mengacu kepada kenyataan sosio-kultur yang terdapat dalam masyarakat Indonesia.

Anak didik perlu diajarkan tentang bagaimana cara hidup dalam masyarakat majemuk secara damai dan produktif, sehingga anak didik bisa menjadi warga masyarakat dan warga negara yang demokratis.

Keteladanan pemimpin menjadi sesuatu yang sangat penting, yang kalau dalam bahasa Andrea adalah Pahlawan. Keteladanan pemimpin dapat dilihat pada Soewardi Soerjaningrat yang telah menggambarkan dengan sangat tepat semangat kebangsaan yang dimiliki oleh Ki Hadjar Dewantara. Demikian pula, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dalam pidato pengukuhannya berucap: “Walaupun saya dididik cara Barat (baca: Globalisasi), Saya tetaplah orang Jawa (baca: Indonesia)”. Pernyataan ini menggambarkan sikap nasionalisme budaya progresif yang membuat Belanda sempat tercengang.

Dalam bagian lain pidatonya, beliau berucap, “Ijinkanlah saya mengakhiri pidato saya ini dengan berjanji, semoga saya dapat bekerja untuk memenuhi kepentingan Nusa dan Bangsa, sebatas pengetahuan dan kemampuan yang ada pada saya”. Beliau tanpa ragu menyebut “untuk memenuhi kepentingan Nusa dan Bangsa”, jelas menunjukkan sikap patriotisme sejati di tengah cengkraman kekuasaan Belanda saat itu. Penggal anak kalimat lain, “sebatas pengetahuan dan kemampuan yang ada pada saya”, dibuktikannya dengan tindakan nyata lebih dari apa yang dijanjikannya, ketika di saat-saat genting sekitar Proklamasi, beliau menerbitkan maklumat 5 September 1945 yang menyatakan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi bagian tak terpisahkan dari NKRI.

Mewujudkan Kebangkitan Nasional Kedua membutuhkan kesadaran, kehendak dan upaya bersama. Usaha ini harus didasarkan pada harkat dan martabat, keteguhan hati, kepastian tujuan dan keyakinan pada kemampuan bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa sebagai karunia Tuhan.

Hakikat pembangunan bangsa adalah tidak lain dari pada mewujudkan kemajuan, kemandirian dan kesejahteraan manusianya. Sejarah Indonesia baru saja membuktikan bahwa ternyata kekayaan alam tidak juga membawa kemakmuran global, kekayaan budaya dan kelimpahan penduduk tidak membawa kekuatan pengubah dan keberagaman, dan lebih jauh lagi bahwa karunia yang telah diberikan Tuhan terhadap bangsa ini ternyata tidak mendorong semangat untuk penggubah.

Guna mewujudkan hakikat pembangunan di atas, perlu kiranya untuk menerapkan dan memanfaatkan nilai-nilai ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kata kunci untuk keberhasilan pembangunan di masa datang adalah peningkatan kualitas manusia yang pada akhirnya dapat memperkuat daya saing ekonomi secara global, meningkatkan prokduktivitas, mempertinggi nilai tambah dan membuka peluang lapangan kerja baru.

Sumber : http://auliarezabastian.blogspot.com/2010/03/budaya-lokal-sebuah-rekonstruksi-model.html

RI Lokomotif Ekonomi Global?

RI Lokomotif Ekonomi Global?


Saat ini, bangsa Indonesia katanya telah kehilangan roh kebangkitan nasional yang dicetuskan seabad lalu. Pancasila ditinggalkan, para elitenya saling berebut jabatan, sementara korupsi politik merajalela laksana virus. Parahnya lagi, alih-alih hukum dan keadilan, politik dan kepentingan elite yang justru jadi panglima. Sejumlah pakar ilmu sosial-politik bahkan mensinyalir bahwa indikator awal Indonesia menuju negara gagal (failed state) sudah kian jelas.

Wajar saja, saya terhenyak membaca studi Bank Dunia yang disiarkan hampir berbarengan dengan hari kebangkitan nasional 20 Mei lalu. RI diprediksi oleh lembaga berpengaruh tersebut akan menjadi salah satu lokomotif ekonomi global di tahun 2025, bersama Brazil, Russia, India, China (BRIC) dan Korsel. Bisakah RI mewujudkan prediksi Bank Dunia tersebut menjadi kenyataan?

Telaah demografi RI tampaknya menjadi salah satu pisau analisa penting yang dipakai sehingga Bank Dunia bisa sampai pada kesimpulan di atas. Selain analisa tren indikator ekonomi, prospek ekonomi suatu negara memang paling mudah diproyeksi dengan memproksi tren demografinya.

Prediksi jumlah penduduk cenderung tak menyimpang jauh dari perkiraan karena tingkat fertilitas (jumlah rata-rata anak yang dilahirkan seorang wanita) tak banyak berubah dalam jangka panjang. Angka fertilitas Indonesia saat ini 2,6. Minus gerakan nasional untuk membatasi pertumbuhan penduduk, angka tersebut diperkirakan masih akan berada di atas 2,0 hingga dua dasawarsa mendatang.

Dalam 20-30 tahun mendatang, RI akan menikmati apa yang disebut sebagai era bonus demografi (demographic dividend). Dalam periode tersebut, jumlah penduduk usia muda trennya meningkat, sementara dependency ratio (rasio antara kelompok penduduk di luar usia kerja dan usia kerja) cenderung turun. Turunnya dependency ratio secara teoritis juga akan mendorong tumbuhnya kelas menengah di Indonesia.

Menurut hitungan Badan Pusat Statistik (BPS), kelompok penduduk produktif yang berusia 15-65 tahun akan meningkat 17,1% dalam tempo 15 tahun ke depan. Jumlahnya akan naik dari 160,3 juta tahun 2010 menjadi 187,7 juta pada tahun 2025. Rasio kelompok usia produktif juga diprediksi terus meningkat, naik dari 67,4% tahun 2010 (jumlah penduduk 237,6 juta) menjadi 69,7% tahun 2025 (perkiraan penduduk sebesar 273,2 juta).

Jumlah kelompok usia produktif yang naik seiring dengan membesarnya kelas menengah akan mendorong gairah sektor konsumsi dan manufaktur. Kenaikan jumlah penduduk muda biasanya akan diiringi oleh permintaan yang kuat di sektor perumahan dan konstruksi. Sementara itu, sektor-sektor yang terkait dengan teknologi, hiburan, kesehatan, pendidikan dan finansial juga akan tumbuh kencang.

Industri perbankan dan pasar modal akan bergairah karena kelompok usia muda umumnya cenderung untuk memupuk modal. Toleransi risiko kelompok usia ini cukup tinggi sehingga pasar modal dan pasar finansial akan berpeluang tumbuh signifikan.

Sejauh ini, peran perbankan RI dalam perekonomian relatif tertinggal dibanding negara-negara tetangga. Aset perbankan tercatat hanya sebesar 46,8% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2010. Angka ini jauh lebih rendah dibanding negara-negara tetangga, seperti Malaysia (202%), Thailand (120%), dan Filipina (72%).

Rendahnya aset perbankan salah satunya dipicu oleh realitas ekonomi RI yang tergolong masih low leverage (utang perbankan relatif kecil dibandingkan besaran ekonomi). Rasio kredit perbankan RI terhadap PDB tercatat hanya 27,5% tahun 2010, jauh lebih rendah dari Malaysia (114%), Thailand (85%), Singapura (75%), dan Filipina (33%). Namun dalam 2-3 dekade mendatang, tren monetisasi diperkirakan akan terus meningkat seiring naiknya rasio penduduk produktif . Hingga tahun 2015, rasio outstanding kredit terhadap PDB diperkirakan akan terus meningkat kearah 40%.

Memanfaatkan kebijakan China

Pada tahun 2010, besaran kue ekonomi RI diukur dengan PDB nominal tercatat sekitar Rp 6400 triliun (US$ 710 milyar) atau US$ 3000/kapita. Dengan asumsi konservatif pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8% hingga 2015, besaran ekonomi RI minimal akan meningkat dua kali lipat setiap lima tahun. Alhasil pada tahun 2015, ekonomi Indonesia akan menggelembung menjadi sekitar Rp 15.500 triliun atau US$ 1,7 triliun dollar dengan pendapatan per kapita sekitar US$ 6000.

Kunci utama untuk mencapai target di atas adalah investasi yang berkesinambungan, salah satunya dengan memanfaatkan tren investasi China yang cenderung meningkat. Dengan cadangan devisa yang hingga Mei 2011 sudah mencapai lebih dari US$ 3 triliun, China punya insentif untuk memperbesar investasinya ke negara-negara emerging market, terutama Indonesia yang kaya sumber daya alam dengan kelas menengah yang terus berkembang. Tren ini sudah terlihat dari masuknya investor China ke beberapa sektor di Indonesia seperti perbankan, semen, baja, keramik, migas, mineral, infrastruktur, dll.

Dari segi upah buruh, investasi di Indonesia sekarang lebih menarik dibandingkan di China. Upah minimum di China naik 20% tahun 2010 dan 22% pada tahun 2011. Saat ini, upah per kapita di sektor manufaktur China mencapai US$4900/tahun atau hampir 4 kali lipat dari Indonesia.

Selain itu, RI perlu juga mencermati arah kebijakan ekonomi China dalam dasawarsa mendatang. Dalam rencana ekonomi yang diumumkan baru-baru ini, pemerintah China akan memprioritaskan pertumbuhan konsumsi domestik dibanding investasi dan ekspor yang sudah menjadi tumpuan ekonomi China selama 30 tahun terakhir. Pemerintah China memproyeksikan porsi konsumsi domestik terhadap PDB akan meningkat dari 36% di tahun 2010 menjadi 45% di tahun 2015.

Dalam rencana pembangunan yang baru tersebut, China juga akan mengadopsi model pembangunan sektor jasa yang padat karya (labor intensive). Alasan China mendorong pertumbuhan sektor jasa adalah karakteristik sektor tersebut yang membutuhkan lebih sedikit sumber daya dibandingkan sektor manufaktur. Ini sejalan dengan model pembangunan China yang akan lebih eco-friendly. Model ini juga dipilih dalam rangka memperbaiki upah rata-rata pekerja China sehingga daya beli dan impor pun akan meningkat. Dengan demikian, ketidakseimbangan global pun dapat perlahan dikurangi – http://davidsumual.blog.kontan.co.id/2010/11/28/perang-mata-uang-what-next.

Perubahan segera

Gerbang kesempatan terbuka luas bagi RI dalam 2-3 dekade mendatang. Selepas periode tersebut, penduduk Indonesia akan mulai mengalami penuaan (aging society), dimana bonus demografi berubah menjadi beban demografi. Jumlah pekerja dan penduduk produktif akan berkurang secara absolut, seperti dialami Jepang mulai 2005 lalu dan China mulai tahun 2015 mendatang.

Indonesia harus bisa mencontoh AS, Jepang, dan China yang berhasil membangun bantalan kesejahteraan (wealth cushion) sebelum penduduknya mulai menua. Untuk itu, RI perlu mempersiapkan diri dengan rencana jangka panjang yang solid dan menyeluruh. RI memerlukan kebijakan industri, perdagangan, tenaga kerja dan infrastruktur yang kondusif agar inefisiesi dan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) dapat dikikis dan ekonomi pun dapat lebih berdaya saing.

Selain prioritas pembenahan institusi dan penegakan hukum, perbaikan SDM dan pembangunan infrastruktur, kebijakan subsidi yang tak tepat sasaran juga harus segera dibenahi. Sinyalemen akhir-akhir ini menunjukkan pemerintah kemungkinan akan lebih mengedepankan pertimbangan politik dibandingkan pertimbangan ekonomi jangka panjang dalam memutuskan kebijakan terkait subsidi BBM.

Pemerintah baru-baru ini menyatakan akan terus mensubsidi BBM karena penguatan rupiah akhir-akhir ini turut membantu mengurangi biaya impor BBM. Selain itu, pemerintah kemungkinan akan menambah nominal subsidi BBM dengan cara memperbesar defisit APBN ke kisaran 2% terhadap PDB (notabene menambah utang baru) dibanding mengotak-atik kebijakan subsidi BBM.

Sinyal pemerintah terkait kebijakan subsidi BBM tersebut benar-benar membuat saya khawatir. Kalau kebijakan populis ini berlanjut hingga 2014, tren misalokasi sumber daya ekonomi tentu akan terus berlangsung. Tingkat harga yang terbentuk di pasar tidak lagi mencerminkan kondisi perekonomian yang sebenarnya (pseudo price), karena tingkat harga tersebut telah terdistorsi oleh kebijakan subsidi BBM -http://desumualseconotes.blogspot.com/2005/08/unrealistic-2006-budget-damage-has-been.html.

Sementara ini, penguatan rupiah memang membantu mengurangi biaya impor BBM. Namun, tren ke depan sebenarnya sudah tidak lagi memungkinkan negara ini untuk terus mempertahankan kebijakan yang salah sasaran tersebut. Indonesia sudah net importer minyak sejak beberapa tahun lalu dan bukan lagi anggota OPEC. Produksi minyak RI terus turun, sementara minyak sebagai energi tak terbarukan (non-renewable energy) tren harganya cenderung akan terus naik sesuai dengan tingkat kelangkaannya.

Sinyal harga yang salah juga menyebabkan kebijakan transportasi yang juga salah arah sehingga konsumsi BBM dalam negeri terus meningkat. Ketika perbedaan harga internasional dan harga BBM bersubsidi kian lebar, permintaan BBM juga makin meningkat akibat aksi penyelundupan baik ke luar negeri maupun ke industri -http://www.ecoteacher.asn.au/Jakpost/030400/oil.htm.

Tingkat risiko riil RI sebenarnya justru meningkat jika lembaga pemeringkat internasional menaikkan peringkat RI menjadi investment grade sebelum pemerintah mengubah kebijakan BBM bersubsidi. Masuknya RI ke dalam kategori investment grade akan mendorong lembaga-lembaga keuangan dunia untuk memberikan credit line yang lebih besar bagi Indonesia (bank akan tertarik menyalurkan dananya ke RI karena bobot risiko lebih rendah sehingga alokasi modal yang harus disediakan bank lebih sedikit).

Masuknya dana dalam jumlah besar seiring naiknya peringkat Indonesia menjadi investment grade akan menyebabkan distorsi ekonomi kian menjadi-jadi. Dalam jangka pendek tentu akan menguntungkan Indonesia dimana harga aset cenderung meningkat. Namun dalam jangka menengah-panjang, ekonomi pun menjadi lebih rentan terhadap kemungkinan krisis baik yang dipicu oleh persoalan eksternal maupun domestik, sementara ongkos krisis yang timbul cenderung akan lebih besar.

Sebab itu, RI harus segera berbenah diri dalam menyongsong era keemasan 2020-2030. Selain kebijakan BBM yang tepat sasaran, persoalan-persoalan yang menimbulkan high cost economy seperti persoalan logistik, birokrasi dan infrastruktur harus segera dibenahi. Tanpa perubahan, ekonomi RI hanya akan tumbuh subsisten sebesar 5% hingga 2025, ditopang hanya oleh pertumbuhan konsumsi. Dengan pertumbuhan subsisten tersebut bantalan kesejahteraan tentu tak akan terbentuk sehingga RI rentan didera krisis (terutama krisis sosial-ekonomi), ketika masyarakatnya nanti mulai menua (aging crisis).

Tapi dengan perbaikan di berbagai sektor, RI punya peluang besar untuk tumbuh di kisaran pertumbuhan potensialnya rata-rata sebesar 8% hingga tahun 2025. Dengan demikian, kita berharap antara periode 2020-2030 bangsa ini akan mengalami kebangkitan nasional kedua dan menjadi salah satu negara maju yang diperhitungkan di tingkat global.

Sumber : http://davidsumual.blog.kontan.co.id/2011/05/

Kebangkitan Nasional dan Visi 2030

Kebangkitan Nasional dan Visi 2030

Oleh I Basis Susilo


Dua bulan sebelum Hari Kebangkitan Nasional tahun ini, Yayasan Forum Indonesia meluncurkan buku Kerangka Dasar Visi Indonesia 2030. Menurut buku ini, Indonesia 2030 berpenduduk 285 juta jiwa, produk domestik bruto (PDB) USD 5,1 triliun, jadi negara industri maju, masuk lima besar kekuatan ekonomi dunia, memiliki 30 perusahaan dunia yang tercatat dalam 500 perusahaan terbesar dunia, dan bependapatan USD 18 ribu per orang per tahun.

Visi itu didasarkan pada asumsi pertumbuhan ekonomi riil 7,62 persen, inflasi 4,95 persen, dan pertumbuhan penduduk 1,2 persen per tahun. Visi tersebut mensyaratkan: ekonomi berbasis keseimbangan pasar terbuka dengan dukungan birokrasi yang efektif.

Selain itu, ada pembangunan berbasis sumber daya alam, manusia, modal, serta teknologi yang berkualitas dan berkelanjutan; dan perekonomian yang terintegrasi dengan kawasan sekitar dan global.

Setiap bangsa memerlukan visi ke depan yang kuat sebagai dasar dan petunjuk arah bergerak maju. Tanpa dasar dan arah yang jelas, bangsa mudah terombang-ambing oleh dinamika perubahan.

Kemajuan Tiongkok saat ini, misalnya, didasari visi yang jelas untuk 2020, 2050, dan 2080, yang dibuat awal 1980-an, saat negeri itu masih miskin dan dianggap terbelakang. Kemajuan Singapura pun didasari visi yang dibuat 1959 oleh Lee Kuan Yew yang mematok negeri pulau itu menyamai negara-negara Eropa Barat pada 1980. Tahun 1959, Singapura masih amat terbelakang sehingga visi itu dianggap mimpi.

Konsolidasi dan Koreksi Diri

Untuk menggapai visi itu, diperlukan konsolidasi dan koreksi diri yang memadai. Dengan konsolidasi diri, suatu bangsa memperkukuh komitmen bersama, memperkukuh fundamen bersama, dan memperkuat kapasitas. Dengan koreksi diri, kesalahan, penyelewengan, kerusakan bisa dideteksi secara dini untuk segera diperbaiki. Kita lihat contoh India, Jepang, dan Tiongkok.

Secara budaya, bahkan peradaban, India sudah mempunyai dasar yang amat kukuh karena terbentuk berabad-abad. Tetapi sebagai bangsa modern, sampai pengujung abad ke-20, India masih enggan membuka diri. Para pemimpinnya melihat kemajuan fisik Barat, tetapi tidak terpukau dan meniru begitu saja karena khawatir kehilangan jati diri.

Namun, pelan tetapi pasti, bangsa itu memperkuat kapasitas industri dan membangun komitmen dengan demokrasi supaya lebih siap saat menghadapi globalisasi. Mekanisme koreksi diri bekerja secara memadai karena bangsa itu sejak merdeka sepakat menjalankan sistem demokrasi.

Jepang melakukan konsolidasi diri selama 250 tahun sebelum Restorasi Meiji pada awal 1860-an. Selama 250 tahun itu ia menata diri melalui konflik, persaingan, bahkan perang, komunikasi, membangun kejepangan, untuk mencapai keseimbangan yang mantap sebagai bangsa.

Dengan itu, ia bisa bersepakat tentang hal-hal mendasar dan arah tujuan bersama yang dituju bangsanya. Pengalaman kalah pada Perang Dunia II tak mampu menghancurkan bangunan dasar dirinya.

Walau Tiongkok punya peradaban besar, dalam era modern ia mengalami proses konsolidasi dahsyat. Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, Tiongkok dijadikan bulan-bulanan bangsa-bangsa Barat dan Jepang. Perasaan terhina dan dihina sedemikian itu memberikan pelajaran berharga baginya untuk membangun jati diri yang kuat.

Setelah Perang Dunia II, Tiongkok mulai melakukan konsolidasi dan koreksi diri secara keras oleh Mao Tse-tung dengan Revolusi Kebudayaannya. Revolusi itu menyebabkan kemerosotan ekonomi, tapi keuntungan soft goods berupa kepercayan diri dan hati-hati terhadap kekuatan asing tidak bisa dipungkiri, bahkan oleh Deng Xiao-ping sekalipun.

Selanjutnya, Deng melakukan koreksi diri Tiongkok dengan empat modernisasinya pada akhir 1970-an. Salah satu koreksi total adalah sistem pendidikan.

Bagaimana Kita?
Sudah cukupkah konsolidasi diri dan koreksi diri bangsa kita? Dibandingkan dengan Jepang, India, dan Tiongkok, bangsa kita memang tidak punya kesempatan cukup untuk konsolidasi dan koreksi diri.

Tetapi jika dibandingkan dengan Malaysia, bangsa kita punya sejarah dan pengalaman berkonsolidasi dan koreksi diri yang lebih memadai. Namun, nyatanya kita merasakan kini kemajuan Malaysia tampaknya bisa lebih solid dibandingkan dengan kita.

Sejak 1908, melalui perjuangan ide, fisik, diskusi, dan konflik internal, bangsa kita sudah mempunyai fondasi yang cukup memadai.

Tonggak-tonggak sejarah menunjukkan kesepakatan nasional. Ada lima tujuan bernegara: merdeka, berdaulat, bersatu, adil, dan makmur. Ada Sumpah Pemuda. Ada Pancasila. Ada UUD 1945. Ada NKRI. Ada Bendera Merah Putih. Ada Bahasa Indonesia. Ada Tritura. Ada Reformasi. Ada Rupiah. Dan sebagainya.

Tetapi, kesepakatan-kesepakatan itu oleh beberapa pihak masih dianggap lonjong, tidak bulat, sehingga masih ada upaya-upaya untuk mengingkari kesepakatan-kesepakatan nasional tersebut.

Misalnya, soal dasar negara kita, masih saja ada yang mempersoalkan dan mencoba mengubahnya. Akibatnya, terus-menerus kita menguras energi bangsa kita untuk hal-hal yang sudah seharusnya tidak kita persoalkan lagi.

Mekanisme koreksi diri pun sudah dilakukan dengan berbagai cara. Tetapi akhir-akhir ini kita terjebak untuk lebih asyik ber-guyon ria secara cengengesan untuk membahas soal-soal penting bagi bangsa kita. Kesalahan dan penyelewengan cenderung kita jadikan sasaran bulan-bulanan humor semata ketimbang sebagai soal serius yang harus diatasi bersama.

Padahal, untuk bisa mewujudkan Visi Indonesia 2030, diperlukan konsolidasi dan koreksi diri yang memadai sehingga guncangan-guncangan yang disebabkan aksi kita untuk mewujudkan visi itu tidak akan merusak atau menghancurkan fondasi hidup kita dalam berbangsa dan bertanah air.

Kita masih butuh proses konsolidasi dan koreksi diri. Misalnya, semua elite strategis bangsa kita menyepakati waktu khusus, misalnya satu jam dalam sehari, untuk membahas soal-soal kebangsaan kita di mana pun, terutama di dan melalui media massa.

Artinya, semua media massa mesti memprogramkan acara-acara berperspektif nasional. Ide ini mungkin tampak aneh di tengah liberalisasi saat ini, tetapi untuk membangun landasan yang kukuh kebangsaan kita, sesuatu harus dilakukan sebelum terlalu terlambat.

I Basis Susilo, dosen pada jurusan Hubungan Internasional FISIP Unair, saat ini juga dekan FISIP Unair

Sumber : http://www.opensubscriber.com/message/dpr-indonesia@yahoogroups.com/6742988.html